Selasa, 29 September 2009

Yang Hidup di Pinggiran

Cerpen : Tinus Kayoman

1. Susi, Kembang Wisma

“Dasar lonte lu, Sus…! Suami orang lu gibet juga…!”
Susi cuek saja, jemarinya memutar-mutar rokok mild mentholnya dengan lincah.
“Emang ada yang hidup di sini yang bukan lonte…?”
“Tapi lu brengsek banget…, laki gua lu embat…!”
Susi masih saja cuek. Sekarang ia malahan asyik membuat bola-bola dari asap rokoknya.
“Emang ada yang hidup di sini yang kagak brengsek…?”
“kurang ajar lu…, gua bunuh lu…!”
“Ayo aja…, kalo lu berani ! Kalo orang gua memang belum pernah bunuh. Tapi kalo kecoak…. sering ! Nyawa lu paling seharga kecoak…huh !”
Susi tidak cuek lagi. Malahan ia sudah pasang kuda-kuda siap tempur. Sekarang giliran musuh Susi yang ciut. Melawan Susi, orang yang jadi musuhnya memang harus pikir panjang sebelum bertindak.
Semua orang di sini sudah pada tahu kalau yang namanya Susi Wisma Anggrek, jago silat. Yang jadi pertanyaan orang-orang justru kenapa Susi nggak jadi atlit saja, kok malah jadi pelacur.
“Kalau soal itu, gua nggak bisa jawab. Kan sama aja lu tanya kenapa polisi jadi rampok, kenapa ustad jadi penghianat…!”
“Tambah lagi kepintaran lu, Sus. Pintar ngomong…!”
“Tapi kepintaran utama gua tetap yang ini….”
Suara dengus napas saling berkejaran. Sebentar kemudian Susi keluar kamar. Rambutnya agak kusut.
“Abis ngamar ya…, Sus ?!”
Susi cuma senyum, tubuhnya tertutup handuk, mau ke kamar mandi umum.
“Bagus rejeki kamu Sus, pagi-pagi udah dapat duit !”
“Lumayan, Bang ! buat beli bubur…!”
Mengamati semangkuk bubur kacang dengan santan kelapa kental yang dipesannya, Susi teringat, bulan pertama bekerja di sini, ia sempat nggak sanggup makan bubur. Bubur mengingatkan dia pada sesuatu yang sangat kerap menyemprot masuk tubuhnya. Susi jijik dengan sesuatu itu. Kalau sekarang, justru Susi paling suka sarapan bubur kacang, tidak terlalu berat di perutnya. Sehabis sarapan biasanya ia tidur sebentar. Lewat tengah hari, satu dua tamu akan mulai berdatangan sampai malam.
“Sus, berapa sih umur anak lu yang di Ciamis ?”
“Ngapain tanya-tanya, lu mau ngadopsi anak gua ?”
“Kagak la Sus…, ngapain gua ngadopsi anak lu ?! anak gua aja ada tiga di rumah….”
“Lalu maksud lu ngapa tanya umur anak gua hah…?!”
“Maksud gua, kalo anak lu udah gede, gua kan mesti bilang ama dia juga kalo mau ngawinin lu….”
“Oooh, kirain…! Mau ngawinin gua aja kok repot…, sini duit lu tiga ratus, boleh dah ngawinin gua sampe puas…!”
“Ah lu, Sus. Jangan pura-pura dalam perahu dong….. Gua serius mau ngambil lu jadi istri !”
“Gua juga serius belum mikiran soal jadi istri lu…!”
Mas Parno, juragan ikan asin yang ngebet banget ngambil Susi untuk jadi istri ketiganya tampak kecewa. Apalagi sih yang di cari Susi ? Biar kulit hitam, tapi juga hitam manis ( Maunya Mas Parno ). Kumis tebal, dompet juga tebal. Soal kemampuan ‘begituan’, Susi pasti sudah tahu, cuma Susi yang bisa mengimbangi Mas Parno. Yang lain pada nyerah di telapak kaki juragan bertenaga badak ini.
“Eh, Mas jangan sedih begitu dooong…!”
Susi memeluk tubuh Mas Parno yang entah kenapa, selalu bau ikan asin.
“Gua tahu siapa yang pasti mau di kawinin oleh Mas Parno…!?”
“Siapa Sus ?!”
“Mbok Bar….ha..haha !”
Susi menyebut nama mbah tukang cuci di wismanya. Sambil tertawa genit Susi mempererat pelukannya pada Mas Parno.
Mas Parno jadi gemes. Otaknya langsung mesum. Di balasnya pelukan Susi. Tangannya berlari kian kemari.
“Gua kasih lu lima ratus, Sus ! Tapi puasin gua. Kasih yang ekstra….”
“Siap Juragan…, sini gua kasih ektra….gamparan !”
Tentu saja gamparan Susi pura-pura saja. Buktinya Mas Parno nggak kelenger. Malahan lelaki empat puluhan tahun itu tambah ganas menyerang Susi dengan kaki, tangan dan mulutnya. Empat puluh menit kemudian, Susi keluar kamar. Wajahnya kelihatan agak lelah. Sekarang ia duduk di teras sambil menghisap rokok. Susi sedang asyik merokok ketika suara azan berkumandang dari mesjid.
“Sudah Isya….”
Susi bergumam sambil menghembuskan asap rokoknya panjang-panjang.
Mulanya Susi bingung memikirkan keberadaan mesjid itu. Apa di tempat seperti ini masih ada yang ingat dengan Tuhan ? Tapi ketika masuk awal bulan puasa kemarin, Susi cukup terkejut ketika tahu mesjid itu penuh dengan orang yang sembahyang tarawih. Malahan, karena di ajak Lilis, Susi sempat ikut tarawih dua kali.
“Susi nggak ikut ah, teh ! Teh Lilis pergi sendiri saja….”
“Kamu kenapa Sus ? Malu…?!”
“Iya teh….”
“Sama Tuhan kok pake malu…, Dia mah paling baik Sus….”
Susi sih setuju nggak setuju dengan perkataan temannya itu. Kalo memang Tuhan paling baik, kenapa Dia membiarkan suaminya meninggal dunia ? membiarkan dirinya dan anak-anaknya terlantar ? Memberi kesempatan pada Juragan Darna untuk menjadikannya istri ke empat ? Melemparkannya ke rimba pelacuran yang penuh lumpur dosa dan mahluk-mahluk buas yang berwujud manusia ? Tapi, Susi enggan membantah ajakan Lilis teman senasib yang sudah seperti kakak kandungnya itu. Makanya sempat juga ia ikut Tarawih hari pertama dan kedua. Jamaah Tarawih di masjid itu campur aduk ; ada anak germo, pelacur yang belum pulang kampung atau memang tidak pulang kampung, laki-laki hidung belang yang diam-diam mampir biarpun sudah masuk bulan puasa dan anak muda dari luar komplek yang sengaja datang untuk sekedar melihat pemandangan langka, pelacur pakai mukena. Hari ketiga Susi dan Lilis sudah pulang kampung. Susi ke Ciamis, Lilis ke Sukabumi. Lokalisasi memang harus tutup selama bulan puasa, demikian aturan yang di buat pemerintah.
“Ngelamun, Sus…?!”
“Eh…, Bu Mar ! Mau ke mesjid, Bu ?!”
“Iya, Sus ! Mari….”
“Mari…, Bu Mar !”
Bu Mar baru dua langkah berlalu ketika Susi memanggilnya.
“Ada apa, Sus ?!”
“Tolong do’ain Susi, Bu….”
Bu Mar tersenyum ramah dan sabar, ia mengira Susi tengah bercanda.
“Tolong doa’in Susi biar kayak Ibu…!”
Bu Mar terpana oleh permintaan Susi itu, tapi ia segera tersadar.
“Amin…! Pasti, Sus ! Pasti Ibu do’akan…!”
Bu Mar membalik tubuhnya , melangkah cepat-cepat ke Masjid. Beberapa orang yang berpapasan dengannya mengira ia baru mengambil air wudhu ketika melihat wajah perempuan setengah baya itu basah oleh air mata.

2. Bu Mar, Mami Insyaf

Sudah tiga hari ini Mei muntah-muntah. Katanya masuk angin. Sudah tiga hari juga dia malas terima tamu.
“Lu ngapain muntah-muntah terus, Mei ?!”
Mei nggak menjawab, ia cuma geleng-geleng kepala.
“Lu bunting ya ?!”
Mei masih diam. Mami Mar mengubah gaya bicaranya, sekarang ia mengelus-elus rambut Mei. Membujuk agar Mei bicara jujur.
“Ayo sayang…, ceritain sama Mami !”
Seperti yang sudah di perkirakan Mami, Mei menangis terguguk. Lembut sekali Mami Mar memeluk Mei. Menunggu Mei menuntaskan tangisnya.
“Iya Mi…, Mei bunting !”
Kepala Mei masih tergoyang-goyang oleh sisa tangisnya.
“Pendi, lelaki bajingan itu…, yang bikin Mei jadi gini !”
Mei sudah tidak lagi menangis, matanya yang merah menyorotkan api kemarahan dan dendam.
Mei pantas saja terlena, menangis, marah dan berdendam. Pendi, pemuda tampan itu datang dengan lembut dan membuai. Mei terlalu muda untuk memahami bahwa kelembutan itu menyembunyikan segala niat buruk. Setelah, mendapat semuanya : uang simpanan Mei, kenikmatan tubuh dan juga hati Mei, dengan dingin pemuda berwajah alim itu mencampakkannya. Sekarang Mei tengah mengandung bibit yang semula ia kira benih cinta mereka berdua. Sekali lagi, Mei terlalu muda untuk memahami bahwa terlalu kecil kemungkinan di neraka seperti ini ada orang yang menebar benih cinta.
“Tolong Mei…, Mi !”
Mami Mar masih mengelus rambut Mei dengan lembut. Gadis mungil yang jelita itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mami. Menyerahkan segala pengharapannya.
“Tolong balaskan sakit hati Mei. Tolong juga buang benih setan ini…!”
Mei tidak kecewa menyandarkan pengharapannya pada Mami Mar. Pendi, lelaki bajingan itu terjungkal, mati. Ia di tusuk pengunjung lain yang kemudian menghilang tanpa jejak. Sekarang Mami Mar sedang berusaha mengenyahkan benih yang di tanam Pendi di rahim Mei. Mbah Druno, lelaki renta tapi masih liat itu yang akan menggugurkan kandungan Mei. Sudah sering Mami Mar membawa anak asuhnya yang mengalami masalah seperti Mei, bunting di luar kehendak dan akan di gugurkan. Mbah Druno juga sudah mafhum dengan kehendak sang germo jika melihat kedatangan Mami Mar.
Suara mendesah-desah mulai terdengar dari kamar Mbah Druno.
“Mei sudah mulai di kerjain.”
Mami Mar membatin. Memang aneh cara yang dipakai Mbah Druno. Setiap wanita yang datang hendak menggugurkan kandungan mereka pasti di’cicipi’nya terlebih dahulu.
“Semprotan cairan kehidupan Mbah, akan membuat janinnya lebih mudah diruntuhkan !”
Alasan ini yang selalu di sampaikan Mbah cabul itu pada sang pasien. Biasanya, para pasiennya akan menurut. Yang penting, usaha mereka membuang sesuatu yang melekat di tubuhnya itu berhasil. Suara desah bercampur napas berat Mbah Druno sekarang mulai berganti jerit tangis. Mami Mar sudah biasa mendengar jerit pilu itu.
Dulu, pertama kali mengantar anak asuhnya ke sini, Mami Mar sempat terlonjak kaget mendengar jeritan itu. Kekagetan yang bertambah hebat ketika ia tahu cara Mbah Druno mengurut. Jangan bayangkan si Mbah mengurut dengan tangannya yang hitam kekar. Kedua kaki Mbah Druno yang ceking dan agak pincang itulah yang menginjak-injak tubuh pasiennya. Lelaki dewasa yang sehat wal afiat saja bisa jadi terkencing-kencing di injaknya apalagi gadis mungil seperti Mei. Tapi tekad untuk membuang benih yang di bencinya itu membuat Mei bertahan untuk tidak berteriak menyerah. Tekad yang sepertinya juga di miliki benih yang hendak ia buang itu. Semakin keras usaha Mbah Druno menaklukkannya, sang benih semakin bandel bertahan dan semakin pilu pula jeritan Mei
Mbah Druno keluar dengan wajah lelah. Sambil menyusut keringat di keningnya, ia memberi tanda agar Mami Mar masuk ke kamar.
“Kasih minum jamu yang di botol kalau ia sudah bangun….”
Ujarnya sebelum melangkah ke belakang untuk membersihkan diri. Mami Mar mengangguk mengiyakan. Mei tergeletak di alasi karpet plastik berwana merah. Warna yang sedikit menyamarkan darah yang menggenang di atasnya.
“Mi…, tolong Mei !”
Suara Mei bergetar, wajahnya yang pucat seputih kain kafan.
“Sakit sekali Mi, ampunnn !”
Ia sedikit tersedak ketika Mami Mar membantunya minum jamu dari botol yang maksud Mbah Druno. Entah jamu apa, tapi dari baunya yang menyengat, Mami Mar tahu minuman itu pasti mengandung alkohol cukup banyak. Sekarang Mei agak tenang, napasnya yang satu-satu sudah teratur. Ia mulai terlelap.
“Bandel banget tuh janin !”
Mbah Druno menghembus napasnya beserta asap rokok.
“Hampir habis tenagaku memaksanya keluar…!”
“Kami bisa nggak pulang hari ini, Mbah ?!”
“Bisa. Tapi jangan lupa minum jamu yang di botol itu. Nanti Mbah tambah dua botol lagi….”
Kondisi Mei masih lemah. Bercak-bercak darah kehitaman masih juga keluar mengotori pembalut yang di pasang Mami Mar. Tubuh gadis itu kadang panas membara, kadang dingin seperti barusan diangkat dari lubang es. Mami Mar takut membawa Mei ke dokter, takut perbuatannya ketahuan. Mei juga ketakutan. Rasa takut yang mengerikan hati Mami Mar. Rasa takut yang mungkin menghinggapi semua orang yang hendak menjemput ajalnya.
“Peluk Mei, Mi….”
Mami Mar memeluk Mei. Kepala gadis itu tergolek lemah di lengannya.
“Mei barusan mimpi, Mi. Mas Pendi datang. Ia datang minta maaf, minta ampun sama Mei….”
Mei bicara menceracau, seperti tengah mengigau.
“Mas Pendi datang dengan anak kami…! Mereka mengajak Mei pergi. Mei ikut ya Mi ?! Mei ikut…?!”
“Mei…! Mei…!”
Mami Mar mengguncang kepala Mei yang terkulai. Mei membuka matanya, sayu. Mei senyum, layu.
“Mas Pendi, anak kami, cahaya terang… sudah datang! Mei ikut, Mi…. Mami do’ain Mei !”
Suara Mei mengecil seperti lilin yang hendak padam. Kepalanya betul-betul terkulai sekarang. Mami Mar tidak lagi mencoba membangunkannya. Ia tahu Mei sudah berangkat, gadis itu sudah lelap selamanya.
Semenjak ia menjadi pelacur lalu naik pangkat jadi germo, Mami Mar jarang menangis. Pengalaman mengajari, menangis tidak banyak membantunya selamat di tengah rimba belantara ini. Tapi sekarang, dengan kepala Mei tergeletak di lengannya Mami Mar menangis. Tangis yang panjang dan pilu. Bukan hal yang luar biasa sebenarnya, karena Mami Mar tetap seorang manusia, tetap seorang wanita. Mami Mar juga tetap seorang ibu. Meski sampai ajal menjemputnya, Mei tidak tahu kalau ibu kandungnya adalah wanita yang menjualnya sebagai pelacur dan ia kenal dengan panggilan ‘Mami Mar’.Wanita yang di saat terakhirnya ia mohon bantuan do’anya.
Mukena dan sajadah yang dipakai Mami Mar masih baru semua. Ia membelinya dari bulan puasa kemarin dan belum sempat ia pakai. Rencananya waktu itu hendak dipakainya sembahyang tarawih. Tapi, sampai bulan puasa lewat, mukena dan sajadah itu masih tersimpan dalam lemarinya. Sekarang Mami Mar bersimpuh di atas sajadah baru itu, sejak azan Subuh tadi. Mukena baru yang ia kenakan ujung bawahnya lembab oleh air matanya. Dari berdiri untuk mengerjakan dua rekaat Subuh , air mata yang terus mengalir ia usap dengan ujung bawah mukenanya itu.
“Tuhan, pantaskah aku berdiri di hadapanMu ?”
Mami Mar mengeluh.
“Tuhan, pantaskah aku menadahkan tangan Memohon padaMu ?”
“Aku malu berdiri di hadapanMu ya Tuhan. Dalam mukena putih ini, menutupi hitam jalan hidupku. Tapi, jika tidak mengadu padaMu, tuhan yang mana lagi harus aku pilih ?!”
Barusan, Susi meminta pula do’anya. Mami Mar seolah melihat sosok Mei anaknya pada diri Susi. Kali ini, Mami - sekarang di panggil Bu - Mar tidak malu lagi bersimpuh di hadapanNya. Perjalanan hidupnya dua tahun ini meyakinkan Bu Mar, Dialah yang Paling Pemaaf, Paling Baik dan Paling Kaya. Tak kan kecewa orang yang datang menghadap dan meminta padaNya.
Bu Mar baru saja menyusun barang-barang jualannya. Sejak berhenti memelihara anak asuh, ia menggantungkan hidupnya pada warung mungil ini. Sekarang ia sedang duduk melepas lelah sebentar sambil menunggu pembeli pertama hari ini datang.
“Ada bir, Bu ?!”
“Wah, maaf, Dik ! Ibu nggak jualan bir..., kalau mau ada….”
Bu Mar menyebut satu merk minuman energi.
“kalau cewek, ada Bu ?!”
Lelaki dengan rambut gondrong yang menutupi sebagian wajahnya itu bertanya acuh tak acuh.
Sebel juga Bu Mar melihat tingkahnya yang tengil itu.
“Wah apalagi itu, Dik. Nggak ada !”
“Kalau begitu…, Ahlamdulillah, Mbak !”
Si gondrong itu menarik lepas rambut gondrongnya. Seraut wajah dengan rambut pendek rapi tersenyum lebar di depan Bu Mar. Wajah yang lama sekali tidak pernah muncul di depan Bu Mar. Wajah yang pemiliknya pernah memutuskan hubungan dan menganggap sang mantan germo itu sudah mati.
“Dik…?!”
“Iya, Mbak !”
Nur Salim, satu-satunya saudara Bu Mar yang masih hidup. Kakak tertua mereka sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

3. Nur Hidayat. Ustad, bukan penghianat

Ada empat Nur di Pesantren Kyai Cholil. Dua santri dan dua santriyah. Sering dengan bangga dan penuh rasa syukur Romo Kyai berkata,
“Alhamdulillah, berkah sekali pondokan kita ini. Di lingkupi empat Nur….”
Di lain waktu Beliau menantang santrinya,
“Coba kalian sebutkan apa saja empat cahaya itu ?!”
Ada yang menjawab,
“Allah, RasulNya, Orangtua dan Guru !”
Kata Romo Kyai,
“Jawaban yang bagus ! Taat pada empat cahaya itu, selamat dunia akhirat !”
Ada juga yang berkata,
“Al Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas….”
“Jawaban yang tepat. Berpegang pada cahaya itu, niscaya tidak akan tersesat jalan.”
Yang lain menjawab,
“Al Qur’an, Hadis, hukum negara, musyawarah !”
“Pendapat yang baik sekali ! ke empatnya memang tidak boleh di pisahkan. Sekali tercerai, hancurlah suatu negara !”
Tapi ada juga yang sambil berseloroh menjawab,
“Nur Salim, Nur Hidayat, Nur syamilah dan nur Inayah, Romo….”
Romo Kyai diam beberapa detik, tersenyum lalu mengangkat tangannya. Semua santri juga.
“Amiiinnn ! Duhai Rabb yang Maha Mendengar serta Maha Pemberi terimalah pinta dan harap kami…, lingkupi kami dengan cahaya petunjuk, kasih sayang dan ampunanMu. Jadikan kami semua cahaya mata orang tua kami, cahaya penyuluh masyarakat dan cahaya yang menerangi jejak langkah RasulMu….”
Doa Romo Kyai Cholil makbul. Santri dan santriyah asuhannya banyak yang sudah mentas. Nur Inayah, penghapal Qur’an dan sarjana Ilmu hadis, sekarang mengajar di Brunai. Nur Syamilah, pendakwah. Jadwal ceramahnya, on maupun off air selalu penuh dua bulan ke depan. Nur Salim, menjadi menantu Mbah Romo Kyai. Panggilannya sekarang Gus Salim. Hanya Nur Hidayat yang selepas dari pondok, menghilang tanpa kabar. Sampai inisial NH muncul di berita televisi dan koran. Dari gambar hasil rekaan pihak kepolisian, semua penghuni pondok dan teman-teman santri tahu, itu Nur Hidayat.
Tidak menunggu lama polisi : dari Densus 88 AT, Polda, Polres dan Polsek, wartawan dan semua orang yang merasa berkepentingan memenuhi pondok Kyai Cholil. Beliau yang semakin tua semakin kuat bangun malam itu, menerima mereka dengan senyum ramah, berbasa-basi sebentar lalu menyerahkan semua urusan- menjawab pertanyaan polisi, menerima wawancara dan sorotan kamera-pada Gus Salim. Berita berkembang dari hari ke hari. Tapi, sosok yang jadi berita hilang bagai di telan bumi.
Tengah malam, Gus Salim sedang berdiri di belakang Romo Kyai, ikut sembahyang malam. Ketika Romo kyai membalikkan badan setelah selesai dua rakaat ke sekian dan mengulurkan tangannya, cepat-cepat Salim menyambut tangan keriput yang lembut itu, menciumnya.
“Dayat sebentar lagi akan datang ! Sambut dan layani sebagaimana melayani pejuangNya.”
Suara Romo Kyai seperti tengah berbisik. Dengan rikuh Salim mengangkat kepalanya, memandang wajah Kyai Cholil, seperti mencari bayangan kebenaran di wajah teduh itu. Ia masih sempat mencium tangan sang Mertua sebelum Kyai Cholil membalik badan kembali menghadap kiblat dan melanjutkan zikirnya.
Nur Salim merasa ada yang mengikutinya sejak ia keluar dari pondok tadi sampai sekarang, di pasar.
“Mungkin polisi !”
Batinnya.
Ketika Salim membayar belanjaan terakhirnya, perasaan itu mencapai puncaknya. Salim merasa bulu kuduknya meremang. Secara reflek Salim menoleh. Seorang pengemis renta hampir menumbuk pinggangnya. Salim sedikit menyisih, memberi jalan. Pengemis itu beringsut sambil menadahkan tangan. Sekilas Salim melihat secarik kertas lusuh di telapak tangan yang dekil itu. Cepat Salim mengulurkan selembar uang seribu rupiah dan meraup kertas itu. Dua huruf, NH dan sederet angka nomor telepon seluler yang tertera pada carikan kertas itu. Salim memasukkan kata Jundi pada nomor tersebut.
Suara lembut itu terdengar jauh sekali di telinga Salim. Suara Nur Hidayat. Salim teringat suara lembut ini dengan gaya bacaan yang sederhana dan lurus ketika melantunkan ayat Al Qur’an sering membuat pendengarnya menitikkan air mata. Adakah benar sekarang pemiliknya telah menjadi teroris, musuh negara yang sebagian besar penduduknya justru saudara seiman? Salim menggeleng, berusaha mengenyahkan kesedihan yang menyaputi dadanya.
“Nggak salah Kang Salim milih tempat itu ?”
“Nggak Gus, pokoknya Gus Dayat ke sana saja. Kita ketemu di sana…!”
Dulu wajah Nur Hidayat bersih, perawakannya kekar cenderung gemuk. Sekarang, hampir Salim tidak mengenali lelaki ceking semampai dengan jenggot lebat di hadapannya. Entah apa yang menempa Nur Hidayat sehingga berubah seperti ini.
“Saya masih perlu penjelasan Kang salim, kenapa milih tempat ini…!?”
Nur Hidayat membuka pembicaraan setelah mereka bertukar salam dan pelukan.
“Banyak alasan Gus. Tapi yang paling penting keamanan…! Setelah saya timbang-timbang inilah tempat yang paling tepat untuk Gus Dayat mengasingkan diri.’
Nur Hidayat diam, mecerna ucapan Salim.
“Ngomong-ngomong, Gus Dayat sudah menikah ?”
“belum Kang, belum sempat….”
Nur Hidayat menjawab pendek, ia seperti masih merenungi sesuatu.
“Kang…, Kang Salim nggak tanya gimana ceritanya sampai kejadian kayak begini ?!”
“Nggak perlu, Gus. Saya, saudara-saudara yang lain juga Romo Kyai…, yakin Gus Dayat sudah mempertimbangkan masak-masak semuanya…!”
Bu Mar masuk, menghidangkan sepiring pisang goreng dan dua cangkir teh hangat. Di luar, hujan pagi masih menyisakan gerimis. Nur Hidayat menyeruput tehnya, sementara pikirannya melayang mundur. Keberbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini.
“Terimakasih atas pengertian Romo Kyai, Kang Salim dan saudara yang lainnya. Tapi, saya akan cerita, anggap saja cerita ini sebagai penghangat pagi. Untuk teman teh dan pisang goreng ini.”
Tapi cerita Nur Hidayat bukan cerita ringan teman minum teh dan makan pisang goreng di pagi hujan gerimis. Nur Salim perlu berkali-kali mengucap ; ‘Allahu Akbar’, ‘Subhanallah’ dan lainnya menanggapi kisah yang di alami saudara satu pondok pesantrennya itu. Selesai bercerita Nur Hidayat menarik napas sepenuh ruang paru-parunya. Ia merasa ada beban perasaan yang terlepas dari pundaknya sekarang.
“Gimana langkah gus Dayat selanjutnya ?”
Nur Hidayat mengangkat bahu.
“wallahua’lam, Kang !”
“Gus Dayat nggak lihat, ada lahan dakwah terbuka lebar ?!”
“Di sini ?”
Nur Salim tersenyum, ia bangkit menyalami Nur Hidayat yang masih tercenung.
“Selamat berjuang, Gus…!”
Bu Mar tersenyum melihat tingkah laku Lilis yang terus saja mencuri pandang pada Dayat yang sedang asyik membongkar kamar-kamar berukuran dua kali dua di samping warung bu Mar. Sudah lama kamar itu kosong, sejak Bu Mar berhenti memelihara ‘anak asuh’.
“Belanja apa, Lis ?!”
Tersipu oleh teguran Bu Mar, Lilis tergagap menjawab,
“Anu… mie instan dua Bu…. Sama rokok mentholnya sebungkus !”
“Iya nih, masak dari tadi ngeliriknya ke sono melulu…!”
“Ah elu, Ding ! Ngledek gua lu ?” Lilis pura-pura meradang menutupi malunya.
“Sapa sih Bu…?”
Uding mencuatkan ibu jarinya ke arah Dayat yang sekarang membelakangi mereka.
“Saudara, Ding…!”
“Masih bujangan ya…?!”
Bukan cuma Uding yang nunggu jawabannya, Lilis juga.
“Bujangan….”
Uding menghembuskan napas, pura-pura kecewa.
“Waduh…, bakal jadi saingan nih !”
“Ala, gaya lu Ding ! Noh…, saingan lu tuh si Doyok !”
Lilis balas ngeledek Uding . Doyok, pemuda idiot tapi suka ngintip itu adalah teman si Uding jaga malam. Diam-diam Lilis senyum.
“Masih bujang rupanya…!”
Ia membatin.
Bukan Lilis saja yang menaruh perhatian dengan Dayat. Beberapa penghuni lain termasuk seorang Mami juga menaruh perhatian dengan Dayat. Agak aneh memang. Di tempat seribu satu macam lelaki datang dan pergi, ada seorang Nur hidayat yang diam-diam mampu mencuri perhatian wanita-wanita yang sebenarnya sudah pada berpengalaman bergaul luar dalam dengan lelaki.
“Orangnya sih biasa aja, Sus….”
Lilis lagi curhat dengan Susi. Susi ogah-ogahan menanggapi. Masih ada sisa kelelahan di wajahnya, semalam ia ngelembur dengan tamu. Ia baru saja mandi dan sarapan ketika Lilis datang.
“Jadi apa yang bikin teh Lilis suka?”
“Ya karena dia biasa saja itu….”
“Nggak ngerti deh maksud teteh !?”
“Kalau yang luar biasa mah kita udah sering ketemu…”
“Luar biasa jeleknya…, luar biasa jahatnya…, luar biasa napsunya….?!”
Susi memotong omongan Lilis sambil cekikikan.
“Gitu maksud teteh memang. Jarang kita ketemu yang biasa.Yang manusia biasa, yang laki-laki biasa.”
“Jadi teh Lilis udah kepingin juga ya jadi manusia ?!”
“Memangnya Susi nggak mau…?!”
Susi terdiam oleh pertanyaan balik Lilis.
Salim agak keheranan ketika Mbak Mar memintanya datang.
“Nggak bisa di omongin lewat telepon saja, Mbak ?!”
“Nggak bisa, Dik ! Nggak leluasa. Kamu datang ya, ini penting !”
Berbagai pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi serta sedikit penasaran untuk mengetahui hasil kerja dakwah Nur Hidayat selama tiga bulan ini membuat Salim datang.
“Jangan-jangan jejak Gus Dayat sudah tercium yang berwajib !?”
Pikiran itu sempat juga melintas di benak Nur Salim.
Dayat lagi menyusun bangku tempat anak-anak mengaji di ruang musola yang ia dirikan di samping rumah Bu Mar ketika Salim datang. Tempat itu dulunya kamar-kamar sempit tempat anak asuh ‘Mami’ Mar. Empat puluh hari, Dayat bekerja dan bertirakat menyelesaikan salin rupa tempat itu. Minggu-minggu pertama Musola itu di buka , satu dua anak mulai datang membawa mukena dan buku ngaji mereka. Lalu hari berikutnya dengan di bantu Bu Mar yang berpromosi pada setiap pembeli di warungnya yang datang kian bertambah. Malahan ada dua orang pelacur yang ikutan belajar agama. Keduanya merasa perlu untuk mempelajari agama dan mengaji karena akan menikah dan di boyong oleh bakal suaminya keluar komplek. Lewat mulut mereka juga yang ikutan ngaji mulai bertambah satu persatu.
“Enak ngaji di tempatnya Bu Mar. Selain guru ngajinya ehm…, tempatnya juga nggak terlalu menyolok kayak di mesjid !” Ujar mereka.
“Ayo, ke kamar ku saja !”
Ajak Dayat pada Salim.
“Biar ngobrolnya lebih bebas. Sebentar lagi anak-anak sudah ada yang datang main ke sini…!”
Keduanya bangkit ke kamar Dayat yang berada di ujung sebelah sana musola. Posisi musola itu memang berada antara warung Bu Mar dan kamar Dayat.
“Maaf nggak ada apa-apa !”
Dayat mengangsurkan segelas air putih pada Salim.
“Hari ini aku lagi puasa.”
“Nazar ?”
“Bukan. Sejak pertama di sini sudah ku niatkan puasa Nabi Daud….”
“Gimana situasi di sini, aman ? Kelihatannya Gus Dayat sudah mulai menggarap lahan dakwahnya ?!”
“Alhamdulillah, Kang ! Berkat do’a romo Kyai, kang Salim dan saudara yang lain. Kalo soal kerja, saya baru mulai dengan musola di sebelah ini.”
“Gus, saya mau ngomong….”
Sikap Salim berubah serius. Sikap yang memang seharusnya. Karena apa yang akan ia omongkan dengan Dayat menyangkut diri Mbakyunya, Bu Mar. Saudara dan famili dekat satu-satunya yang tersisa sekarang.
“Saya mau titip Mbak Mar sama Gus Dayat !”
“Maksud Kang Salim ?”
“Saya nggak mau Mbak Mar jadi Zulaiha pada kisah Nabi Yusuf. Saya, juga Mbak Mar sendiri, berkehendak agar dia menjadi layaknya bunda Siti Khodijah dengan Kanjeng Rasulullah….”
Nur Hidayat tercenung. Ia sudah mafhum dengan arah pembicaraan Nur Salim. Salim diam menunggu Dayat yang sedang berpikir.
“Saya belum bisa ngasih jawaban sekarang, Kang ! Kasih saya waktu tiga hari untuk istikharoh….”
“Kalau begitu terpaksa kita berbagi kasur tiga hari ini. Saya menginap di sini !”
“Seperti waktu di pondok ?!”
Nur Hidayat tertawa teringat masa-masa di pesantren dulu.
“Ya, seperti waktu di pondok…!”
Hampir tidak ada yang berubah dari diri Bu Mar. kecuali mungkin senyumnya yang lebih manis atau wajahnya yang lebih bercahaya dari hari kemarin. Itu juga hanya beberapa orang saja yang menyadarinya. Diantara yang beberapa orang itu tentu saja termasuk Nur Hidayat yang sekarang sudah menjadi suaminya.
“Sudah selesai Bu urusan di kampung ?”
Seorang pembeli berbasa-basi ketika melihat Bu Mar sudah menggelar lagi jualannya.
“Sudah, Dik.Alhamdulillah !”
Bu Mar senyum ramah.
“Wah senyumnya sumringah banget, Bu. Pasti urusan yang menyenangkan ya ?!”
“Yaa gitulah, Dik…, mau belanja apa ?!”
“Kang Dayat juga udah kembali Bu ?!”
Kali ini Lilis yang nanya.
“Ustad Dayat mulu yang lu tanyain, Lis !? Nih ada santrinya…!”
Uding menepuk dada. Batuk Uding berdengking ketika dadanya yang tipis termakan angin malam itu tidak kuat menahan tabokannya.
“Naik pangkat lu Ding, udah jadi santri. Sudah bisa apa ?”
“Bisanya sih belon banyak, tapi soal ambil wudhu, Al Fatihah atau hukumnya orang berzina…, tanya ama gua !?”
Uding nyerocos.
“Hus, udah Ding ah. Ganggu orang belanja aja !”
Bu Mar memotong omongan Uding biar nggak merembet ke mana-mana.
“Udah pulang, kok Lis !”
Bu Mar menongolkan kepalanya memandang ke arah kamar Dayat di sebelah musola. Kamar itu masih tertutup.
“Tumben, udah siangan begini belum bangun…!”
“Semalam habis nglembur kali….”
Ada yang nyeletuk.
Tidak ada yang tahu, kalau dua belah pipi Bu Mar mendadak merah mendengar kalimat itu.
Dayat sedang dibuai kantuk usai mengerjakan sembahyang malam ketika teriakan dan gedoran Uding pada pintu kamarnya membuat ia terjaga.
“Ustad bangun ustad…, bantu saya !”
Dayat membuka pintu kamarnya. Di lihatnya tangan Uding sudah berdarah-darah.
“keributan di wisma Anggrek. Ada yang mengamuk. Lilis sama Susi di pukuli !”
Napas Uding terengah-engah. Dengan sigap Dayat berlari menuju ke tempat yang di tunjuk Uding tadi. Di tangannya tergenggam sepotong rotan yang biasa ia pakai untuk menunjuk papan tulis saat mengajar mengaji. Perkelahian hampir berakhir ketika Dayat tiba. Susi yang sudah berada pada titik terakhir perlawanannya sudah pasrah ketika dua orang pengeroyok siap menghujam senjata yang mereka pegang. Hujaman yang tak pernah sampai karena sesosok tubuh semampai tapi kokoh dengan sigap menjatuhkan keduanya.
Seperti dalam filem India, polisi datang terlambat. Korban sudah berjatuhan. Dua meninggal dunia sementara enam laiannya terluka parah. Lilis dan Susi sebenarnya bukan sasaran utama. Sasaran lima orang pengeroyok itu adalah Juragan Parno. Lilis kebetulan lagi ngamar dengan juragan sial itu. Barangkali memang nasib Lilis lagi sial juga. Biasanya sore-sore juragan Parno sudah ngendon di kamar Susi. Juragan Parno dan Lilis tidak tertolong lagi. Susi sedikit lebih beruntung. Meski menderita luka cukup parah, terutama bagian wajahnya yang terkena air keras, nyawanya berhasil di selamatkan.
Sebagian muka dan beberapa tempat di tubuh Susi terbebat perban. Matanya yang bulat indah itu nampak berkabut ketika melihat wajah Bu Mar yang kuyu menungguinya. Ia sadar, selama beberapa hari ini hanya wanita setengah baya itu saja yang menungguinya. Sudah lama Susi tahu jika sepi itu menyakitkan. Tapi baru sekarang ini ia menyadari bahwa sepi itu juga sangat menakutkan.
“Bu…, jangan tinggalkan Susi…!”
Susi meraih jemari Bu Mar. Bu Mar meletakkan telapak tangannya di ujung jari Susi. Ia tidak dapat menggenggam telapak tangan Susi yang terluka.
“Susi takut Bu…! Do’akan Susi jangan mati , Susi mau tobat dulu…!”
Suara Susi parau dan lirih. Tapi di telinga Bu Mar suara itu bagai lengkingan yang meluluhlantakkan perasaannya. Rintihan Susi ini mengingatkannya pada rintihan Mei dulu. Air mata Bu Mar jatuh, ia terguguk pilu.
“Kita harus pindah dari sana , Kang !”
Bu Mar menoleh pada kang Dayat yang sedang komat-kamit menderes sebuah kitab. Bu Mar sendiri sedang menyuapi Susi dengan bubur ayam yang ia buat sendiri. Sejak Susi agak baikan dan dapat minta ijin untuk rawat jalan saja, mereka belum kembali ke komplek. Bertiga dengan Susi, suami istri itu mengontrak kamar disebuah gang sempit yang sulit di lacak.
“Tapi gimana dengan musolanya, Mbak ? Anak-anak yang mengaji ?”
“Kang Dayat takut kehilangan lahan dakwah ?!”
Suara Bu mar terdengar sarat perasaan.
“Tidak cukupkah kalau kami berdua jadi lahan dakwah Kang Dayat ? Bikin kami berdua melahirkan banyak anak Akang. Nanti akan kita didik, kita ajari mengaji, kita ajari silat, kita tempa jadi mujahid….”
Bu Mar terengah-engah sehabis menembakkan kata-kata itu. Jangankan Nur Hidayat suaminya, bahkan Bu Mar sendiri juga heran sejak kapan ia bisa bicara sebanyak ini.
“Cukup…Bu !”
Sebuah suara serak dan tangan yang lemah membuat Bu Mar meluruskan kembali pandangannya. Wajah Susi sudah berurai air mata. Hampir tidak ada kecantikan yang tersisa dari wajah itu. Kecuali matanya yang indah, lainnya sudah berubah menjadi gumpalan daging dan parut-parut kusut.
“Jangan paksa Kang Dayat membuat keputusan yang ia belum siap memutuskannya !”
“Tidak Sus ! Mbakyumu benar. Kita memang harus pindah dari sana. Dan tentang lahan dakwah itu, aku yang harus memohon padamu. Sus, maukah kamu menjadi lahan dakwahku ?”
Susi terdiam. Ia sudah dua kali menikah sebelumnya. Tapi belum pernah ia menerima lamaran dalam kalimat yang begini indah.
“Ayo, Sus ! Jangan ragu menjawabnya.”
Bu Mar mendesak. Tangannya menggenggam jemari Susi, sebelah yang lain memeluk bahu kang Dayat.
“Iya, Kang. Aku bersedia !”
***
Komplek pelacuran itu resminya sudah di tutup. Sejak kerusuhan dulu itu dan juga karena gencarnya protes dari masyarakat. Tapi, masih ada juga yang bandel. Meski tinggal sedikit, masih ada juga perempuan yang menjajakan diri. Lelaki hidung belang juga masih sering datang. Banyak Wisma sudah berganti nama, berganti pemilik atau tutup sama sekali termasuk wisma Anggrek. Tapi masih saja ada pelanggan yang kesasar menanyakan wisma Anggrek dan Susi.
“Susi ? Nyang dari Wisma Anggrek Tuh ?! kagak ada. Tapi ada barang baru, Susi juga. Masih siipp ! Baru datang dari kampung. Mau nyoba Kang ?”
Dan kehidupan di pinggiran itu berjalan sebagaimana biasanya.


Griya Talang Kelapa.
Akhir mei 2008

Cerpen : Perang !

Perang


Perang ! itu tekad yang dicanangkan Rusli. Parang panjang dan belatinya sudah terasah tajam. Kecepek yang selama ini ia sembunyikan di bawah tempat tidur, sudah pula dibersihkan, diminyaki dan siap diledakkan. Dengan panjang hampir satu setengah meter, senapan itu jadi alat utamanya untuk memenangkan peperangan ini.
Perang ! Itulah yang harus dilakukannya sekarang. Sudah cukup Rusli bersabar. Kian hari, kian bertambah pula gangguan dan kerugian yang ia alami. Kera-kera itu dengan ganas menyerbu ladang. Jagung, ubi, sayuran bahkan padi yang ia tanam mulai pula jadi sasaran gerombolan pengacau itu.
Terbayang dimata Rusli kesulitan yang alami jika ladang itu hancur. Tanpa gangguan saja, ladang itu hanya cukup untuk makan ia sekeluarga. Dengan sedikit sisa untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sederhana.
***
Pagi masih berkabut ketika Rusli menempatkan diri di tempat persembunyian. Embun yang melekat didedaunan mengirimkan hawa dingin ke kulit Peladang muda itu. Dari hasil pengamatannya beberapa hari ini, Rusli tahu kera-kera itu menyerbu saat pagi, bersama naiknya sinar mentari pagi dan ketika tengah hari, setelah sang surya mulai tergelincir.
Tidak lama Rusli menunggu. Bulatan-bulatan hitam legam dengan kaki-kaki kuat dan lincah seperti terpantul dari satu pohon ke pohon lain. Dari pohon terakhir, sebelum terjun ke tanah, gumpalan hitam itu berhenti sejenak, seperti membaca situasi. Pemimpin mereka, dengan tubuh hampir sebesar kambing kacang, berada paling depan. Sedetik setelah sang pemimpin terjun ke tanah, gelombang serbuan merekapun dimulai.
Rusli memperbaiki posisi tembak. Degup jantungnya keras memalu rongga dada. Telunjuknya sedikit gemetar saat menekan picu. Inilah saatnya memulai perang. Korban pertama akan segera jatuh.
***
“Blamm !”
Suara dentuman keras bergema sesaat sebelum akhirnya hilang diserap pohon yang berjajar rapat di muara hutan sana. Jeritan marah, kesakitan dan ketakutan saling meningkah. Jeritan sang pemimpin paling keras. Bahunya terluka parah. Sejenak ia terdiam, ragu-ragu untuk maju menyerbu. Sekilas dilihatnya moncong senjata sang pemburu masih mengincar. Dengan teriakan marah bercampur kesakitan, kera besar ini membalikkan tubuhnya, berlari kencang ke arah hutan, dua tiga lompatan ia sudah hilang di balik dedaunan.
“Blam ! blam ! blam !!”
bertubi-tubi Rusli membidik. Asap sangit berbau mesiu menebal di hadapannya. Rusli maju menyerbu. Gerombolan musuh lari berpencar biar kehilangan komando.
Seekor kera muda terhampar. Cairan merah menggenangi tubuhnya. Tiada gerak, tak ada suara. Rusli berlari melangkahi hewan yang tengah menjemput ajal itu, mengejar kera lain yang berukuran sedang. Kaki kanan belakangnya hancur terkena peluru. Sakit dan takut membuatnya kehilangan daya untuk melompat. Terseok ia mencoba menyuruk ke gerumbulan semak. Rusli sudah berada di belakang kera luka itu, siap membidik. Sedetik lagi kepala kera itu akan kehilangan bentuknya. Kera itu menoleh. Mukanya basah, mungkin oleh embun di semak-semak yang ia terobos.
Hati Rusli tercekat. Telunjuknya urung menarik picu. Dimatanya, terlihat kera itu menangis. Ajaib, bahkan kerapun dapat menangis ketika ajal sudah begitu dekat.
“Tidak perlu aku buang peluru !”
Batin Rusli. Dengan luka separah itu, kecil kemungkinan ia dapat hidup lebih lama lagi.
“Tapi jika tidak diselesaikan sekarang, bukankah aku memperpanjang penderitaannya ?!”
Suara lain dibatinnya membantah. Rusli masih ragu. Tapi tak urung kecepeknya kembali keposisi siap bidik. Tiba-tiba…,
“Aummhh !!”
***
Suara harimau konon mengandung daya magis. Auman raja rimba itu dapat membuat musuh atau mangsanya kehilangan kekuatan untuk melawan dan menyelamatkan diri. Rusli sudah sejak dulu mempercayai cerita itu. Ia mengalaminya sendiri sekarang. Auman dahsyat itu tidak saja membuat Rusli urung membidik. Malahan senapannya nyaris terjatuh karena kuatnya getaran suara tersebut. Namun naluri Rusli melarangnya untuk menyerah. Menyerah berarti nyawanya akan terancam. Jika nyawanya terancam, siapa yang merawat ladangnya ? Siapa pula yang akan menjaga kelangsungan hidup anak istrinya?
Dengan menabahkan hati, secepat kilat Rusli membalikkan tubuh. Waktu sedetik yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Rusli selanjutnya. Dengan posisi senapan siap bidik Rusli masih sempat melihat harimau menerkam dengan deras ke arahnya. Rusli menarik picu senjatanya dengan tubuh sedikit gemetar.
“Blam !!!”
Getaran tubuh itulah yang membuat tembakan Rusli tidak tepat sasaran. Jika saja peladang itu menembak dengan tenang, tak urung harimau akan terkapar dengan lubang diantara kedua matanya. Tapi, siapa pula dapat membidik dengan tenang, saat kematian sudah begitu dekat, saat maut hampir menerkam leher ? Bidikan Rusli melukai bahu kanan harimau itu. Sang raja rimba terhempas oleh hantaman peluru yang menghujam tubuhnya. Dengan cepat binatang buas itu bangkit. Rasa sakit membuat hewan itu kelihatan semakin ganas. Tapi, kali ini ia tidak lagi terburu untuk menerkam. Dengan gaya khas hewan pemburu, ia melakukan gerakan sedikit memutar mengitari Rusli, mencari titik lemah lawan sebelum melancarkan serangan.
Biasanya jarang harimau itu masuk hingga ke wilayah dekat pemukiman manusia. Namun kali ini rasa lapar membuatnya melanggar kebiasaan itu . Bau darah dan jeritan kera-kera tadi, kian membuatnya nekad untuk mendekat ke ladang Rusli. Rasa lapar, yang membuatnya tidak lagi memandang Rusli sebagai musuh dengan senjata yang dapat mencabut nyawanya. Ia butuh makan, butuh daging dan darah. Tak peduli, daging dan darah apa atau siapa.
Rusli sadar, posisinya sekarang sudah berubah. Dari pemburu menjadi yang diburu. Mengikuti gerak sang harimau, Rusli menarik tubuhnya ke belakang. Dua langkah, tubuhnya sudah di sebelah sebatang pohon. Keduanya saling pandang, menakar kesempatan masing-masing. Menunggu kelengahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan mematikan.
Sepuluh limabelas detik saling menunggu, Rusli kian tidak sabar. Lengannya yang menyangga senapan mulai terasa kesemutan. Hal yang ternyata dialami juga oleh sang musuh. Dengan didahului geraman yang mengerikan, raja rimba itu melompat melancarkan serangan. Dalam perhitungannya, dua kali lompatan besar, ia sudah dapat mencapai leher Rusli. Perhitungan yang cocok dengan perhitungan Rusli. Ketika binatang itu mengambil ancangan untuk melompat , Rusli membidik.
“Blam !!”
Lagi-lagi bidikan Rusli kurang akurat. Peluru hanya menyerempet kaki kiri musuh dan memperlambat sang harimau itu sepersekian detik saja. Dengan keganasan yang kian bertambah ia kembali melompat. Namun Rusli sudah mengambil kesempatan sepersekian detik itu. Dengan lompatan sekuat tenaga Rusli menggapai dahan pohon di sampingnya dan secepat kilat mengangkat tubuhnya. Sudah cukup cepat gerakan Rusli itu. Tapi masih juga terjangan sang harimau menggapainya.
“Huahh..!”
Rusli menjerit. Kuku harimau yang setajam pisau cukur itu mengoyak sepatu bot dan meyayat daging betisnya. Rasa sakit yang luar biasa menyelimuti setiap pori-pori Rusli. Terengah-engah Rusli memeluk erat dahan tempatnya menyelamatkan diri. Dengan terus mengaum marah dan kecewa, harimau itu menunggu sang mangsa yang kini berada di atasnya. Darah dari luka Rusli yang mengucur, tepat membasahi muka si pemangsa. Beringsut, Rusli memperbaiki posisi tubuhnya. Sekarang ia sudah duduk dengan agak nyaman. Luka dibetisnya sudah ia balut dengan kain celana. Di bawah, sang harimau masih menggeram marah.
“Cuhh ! cuhh !”
Rusli meludah. Ketika ludahnya tepat mengenai kepala si raja rimba, dengan penuh kemenangan ia tertawa. Binatang itu tampak semakin marah mendengar tawa yang mengejeknya. Tapi apa mau dikata, sang musuh di atas, tak terjangkau olehnya. Dengan penuh kecewa, hewan itu meninggalkan pohon persembunyian Rusli.
“Akhirnya pergi juga kau…!”
Rusli menggerutu. Luka di kakinya masih berdenyut sakit.
“Hrrrhh….”
Sebuah desahan pendek yang seolah mengiyakan ucapannya membuat Rusli kaget setengah mati..
***
Gugup Rusli menengadah ke atas. Di cabang lain, tepat di atasnya bertengger sumber suara itu. Kera hitam besar dengan luka di bahu. Mereka saling menatap. Sejurus kemudian, dengan gerakan perlahan, kera itu turun ke cabang tempat Rusli berada.
“Hrrhh…, nguk !”
Si Kera menunjuk. Rusli mengikuti arah tunjuk itu. Di sebelah depan sana, jauh di punggung bukit, pohon-pohon bertumbangan. Sayup, suara dengung mesin penebang kayu, terbawa angin ke telinga keduanya.
“Ngukkk …!”
Suara kera besar yang menjadi pimpinan kera-kera lainnya itu terdengar lirih. Tiba-tiba saja, Rusli merasa mengerti maksud perkataan mahluk yang tadi dilukainya ini.
“Tidak ada maksud kami untuk merusak ladangmu. Tapi kami lapar. Lihatlah, hutan kami di punggung bukit itu, sudah habis dijarah. Kamu berladang hanya untuk makan. Kami juga menjarah ladangmu demi mengisi perut kami, anak kami, rakyat kami yang kehilangan hutan. Tapi mereka, orang-orang kota dengan segala mesin itu ?! Itu bukan lapar, itu keserakahan !”
Rusli tercenung. Dilihatnya makin banyak pohon yang tumbang. Dari kejauhan, punggung bukit itu tampak seperti luka borok yang bernanah. Di sebelahnya, sepasang mata hitam bening sedang mengamati semua gerak geraknya. Rusli menoleh. Kembali mereka saling menatap. Sebuah kesadaran baru mendadak menyusupi hati nurani Rusli.
***
Perang ! Ya, perang yang lebih besar ! Tekad itu sudah mantap tercanang di hati Rusli. Senapannya sudah terisi , cadangan mesiu juga ia gantungkan di pinggang. Parangnya juga sudah terasah lebih tajam.
“Masih berperang dengan kera-kera itu, Bang ?!”
Istrinya menegur ketika melihat sang suami hendak berangkat lagi.
“Bukan. Ada musuh lain….”
“Apa Bang, di mana ?!”
“Mahluk yang lebih besar, kejam dan serakah ! Di punggung bukit sana !”
Istri Rusli terlongo. Ia hendak bertanya lagi tapi urung. Dilihatnya sang suami sudah melangkah mantap ke medan perang.
Akhir Maret 09
Tuk sahabat KCM VI, trus berkarya !