Selasa, 31 Agustus 2010

insiden ayam guring II


Insiden ayam Guring II

       Sebenarnya malas untuk cawe2 mengenai masalah yang sekarang tengah terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Dua Negara yang bagaimanapun hendak diingkari tetaplah berasal dari satu puak yang sama. Disatukan oleh sejarah dan perjalanan sang waktu .
Namun saya agak terkejut dan terpaksa numprahake uneg2 ketika mendengar berita anggota DPR mendesak  TPI untuk menghentikan ( semoga Sementara ) tayangan film anak2 Upin dan Ipin . Dengan rasional bahwa penghentian penayangan itu akan memberi semacam tekanan pada kepentingan Malaysia dan pemerintahnya agar lebih care terhadap permasalahan yang saat ini tengah terjadi.
       Sebuah rasional yang bagi saya menggelikan sebenarnya.  Jangan bahas dulu konten Upin dan Ipin yang penuh dengan pelajaran.., tapi cukup bahwa anggota DPR yang pinter2 ( setidaknya menurut Iwan Fals) sampai mengagas tindakan semacam ini di tengah carut marutnya wajah mereka serta lemahnya diplomasi luar negeri pemerintah  Indonesia sungguh suatu hal yang memalukan.
       Secara pribadi, saya tidak tahu bahkan tidak percaya jika Malaysia akan merasa tertekan dan dirugikan dengan penghentian penanyangan Upin dan Ipin. Namun yang jelas, saya dan amel, si kecil fans berat duo gundul itu yang dirugikan. Di tengah tayangan sinetron yang penuh ajaran untuk melawan orangtua, membalas dendam
, berebut harta dan lain-lain tingkah hedonis, keceriaan upin dan Ipin memberikan sedikit senyum pada wajah anak-anak Indonesia yang tidak tahu mengapa dua bangsa yang bersaudara ini selalu saja bertikai….

insiden ayam guring I

Insiden Ayam Guring

          Lantaran sudah lama nggak makan nasi goring Mamas, habis buka tadi , saya bela-belain ngajak istri keluar untuk membeli nasi dan ayam goreng di tempat makan langganan kami itu. Beberapa pengunjung sudah terlebih dahulu memesan makanan ketika kami datang. Setelah memesan nasi goreng satu porsi  dan ayam kampung goreng dua porsi, kami menunggu sambil ngobrol. Nggak terlalu lama pesanan itu selesai. Dengan penuh semangat untuk menikamti makanan buka puasa idaman itu, kami meluncur pulang.
          Sampai di rumah istri saya membuka bungkusan nasi goreng dan ayam goreng tadi. Walahhh  !!! terjadilah insiden ayam guring. Ternyata bungkusan kami isinya : Nasi goreng satu porsi, nasi putih satu porsi , dan tempe tahu goreng dalam satu bungkusan tersendiri .
          Dengan agak jengkel dan kecewa kami bersegera membungkus kembali makanan itu dan secepatnya kembali ke tempat mamas penjualnya. Sesampai di sana . dengan agak jengkel istri saya menerangkan kesalahan yang terjadi. Penuh permintaan maaf, istri mamas menerangkan bahwa terjadi kesalahan ketika menyerahkan pesanan kami dengan pesanan pembeli yang kebetulan berbarengan dengan kami.
          Pembeli tersebut memesan, nasi putih dengan lauk tempe dan tahu.
“Untung dianya “ kata si Mbak…,
“pesen tempe..eh dapat ayam goreng…!”
“mau tidak ya di kembali ke sini….” Lanjutnya setengah berharap. Cuma  tetap ia harus menggoreng ayam lagi untuk mengganti pesanan kami tadi.
          “Mana maul ah pembeli tadi kembali…, “ ujar istri saya.
“wong dia sudah untung… tempe ditukar ayam dua potong !”
Saya diam tidak memberikan tanggapan. Tapi dalam hati membenarkan pendapat istri saya itu. Cuma di sudut lain hati saya, saya berharap ceritanya tidak seperti yang kami kira.
          Saya berharap sipembeli (yang tampaknya tidak cukup uang untuk membeli selain lauk tempe dan tahu )  kembali ke warung si mamas, mengembalikan apa yang bukan haknya, lalu dengan bersahaja mengambil tempe dan tahu yang ia beli.  Sang mamas, yang tidak menyangka kejadian itu, dengan penuh pengertian dan penghargaan tetap memberikan dua potong ayam goreng itu. Saya tersenyum sendiri membayangkan hal tersebut. Juga membayangkan bahwa yang di Atas, mungkin juga tersenyum melihat kejadian yang menunjukkan keagungan harkat martabat manusia itu.
          Mudah2an kejadian yang saya bayangkan itu benar2 terjadi dan terus akan terjadi. Dengan begitu, manusia akan benar2 kembali pada martabatnya sebagai mahluk mulia. Yang menghargai kebaikan sesama, kejujuran dan saling mencintai. Aminn !

Senin, 30 Agustus 2010

Lagu kesukaanku


IN THESE ARMS    , BON JOVI
You want commitment
Take a look into these eyes
They burn with a fire,
Just for you now
Until the end of time
I would do anything
I'd beg, I'd steal, I'd die
To have you in these arms tonight
Baby I want you like the roses
Want the rain
You know I need you
Like a poet needs the pain
I would give anything
My blood my love my life

If you were in these arms tonight
I'd hold you I'd need you
I'd get down on my knees for you
And make everything alright
If you were in these arms
I'd love you I'd please you
I'd tell you that I'd never leave you
And love you till the end of time
If you were in these arms tonights

We stared at the sun
And we made a promise
A promise this world would never blind us
These are my words
Our words were our songs
Our songs are our prayers
These prayers keep me strong
It's what I believe
If you were in these arms tonight

If you were in these arms tonight
I'd hold you I'd need you
I'd get down on my knees for you
And make everything alright
If you were in these arms
I'd love you I'd please you
I'd tell you that I'd never leave you
And love you till the end of time
If you were in these arms tonights

Your clothes are still scatteder
All over our room
This old place still smells like
Your cheap perfume
Everything here reminds me of you
And there's nothing that I
Wouldn't do to be in your arms

And these were our words
They keep me strong
I'd hold you I'd need you
I'd get down on my knees for you
And make everything alright
If you were in these arms
I'd love you I'd please you
I'd tell you that I'd never leave you
And love you till the end of time
If you were in these arms tonights

Sabtu, 28 Agustus 2010

cerpen belum selesai

.Patung Di Kota Kami

Maka keberadaan patung itu mengundang perdebatan. Entah siapa yang mengusulkan, Maka beramai-ramai penduduk berusaha menghancurkan patung tersebut. “Mendirikan patung, apalagi yang mewah begini ! Jelas pemborosan yang tidak dapat diampuni !!”
“Tidak peka dengan keadaan masyarakat yang tengah menderita !”
“Ini cara penguasa cari muka…!”
“Cari muka sama siapa ?!” Seeorang nyeletuk kurang mengerti.
“Entahlah….” Yang ditanya juga tidak mengerti.
“Yang penting, kita hancurkan lambang penguasa lalim ini !” Yang sudah tidak sabar, buru-buru menghentikan tanya jawab yang bertele-tele itu.
“Betul ! Hancurkan lambang kekuasaan yang menyengsarakan rakyat! hidup rakyat miskin…!”
“Bakar !”
“Jangan…nanti merembet ke rumah-rumah kita sendiri…, pakai palu saja, hantam bleh !”
Tampaknya tak lama lagi patung itu akan berubah bentuk menjadi onggokan sampah. Tangan-tangan sudah teracung, mulut-mulut sudah sama sepakat. Siapa lagi yang akan menghalangi kehendak orang-orang yang tengah dilanda angkara ini ?
Sebuah patung tiba-tiba saja dalam semalam telah berdiri dengan megah di tengah kota kami. Kata dengan megah sebenarnya agak kurang tepat. Berada tepat di pusat kehidupan kota kami, patung itu lebih tepat dikatakan tegak dengan angkuh mengangkang di atas kepala-kepala penduduk yang terpaksa mendongakkan kepala untuk melihatnya. Siapa biang keladi pendiri patung ini ? tiada yang tahu pasti. Cuma secara akal sehat, orang yang mendirikannya tentu saja seorang yang memiliki banyak uang dan dekat dengan kekuasaan. Tengah kota adalah

cerpen


Pria, Wanita dan Indralaya
Cerpen : Tinus Kayoman
Apa yang lebih menggembirakan dari perjumpaan ? Apa yang lebih menyedihkan dari perpisahan ? Sayangnya, setiap perjumpaan selalu saja berakhir dengan perpisahan.
1. Gun
Suara ketukan yang keras dan berulang-ulang pada jendela bis membangunkan Lira. Kepalanya yang tadi tersandar di bahuku terangkat. Aku pura-pura masih tertidur ketika Lira menggenggam tanganku.
“Mas, sudah sampai Indralaya, adik harus turun…!”
Tangan Lira sedikit meremas jemariku, berusaha membangunkan aku dengan selembut mungkin. Aku membuka mata. Pandangan kami bertemu. Saat-saat seperti ini, selalu saja perasaan sedih itu datang menyergap. Kenek bis masih saja mengetuk jendela bis sambil berteriak agar penumpang yang hendak turun bergegas dan mengajak calon penumpang baru segera naik. Lira bangkit. Genggaman tangan kami terlepas. Bis kembali melaju. Masih sempat ku lihat Lira mengangkat tangannya, sedikit melambai. Aku membalas dengan menempelkan telapak tanganku di kaca jendela bis.
Perkenalanku dengan Lira terjadi secara kebetulan. Suatu malam, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“Siapa, Pa ?!”
Istriku bertanya sambil mengubah posisi tidurnya. Tampaknya ia terbangun oleh getar ponselku yang terletak dia atas meja.
“Salah kirim….”
Istriku tidak bersuara, tampaknya ia sudah kembali terlelap. Aku yang malahan kesulitan untuk tidur lagi. Ku buka lagi pesan singkat yang kesasar itu.
“Yun, sudah tidur belum?Aku mau curhat nih !”
Kulihat waktu masuknya pesan itu, 00.24. Sekarang sudah pukul setengah satu lebih sedikit. Kubalas pesan itu, sekalian membalas kesalahannya membangunkan aku tadi.
“Saya bukan Yun. Tapi, kalau mau curhat boleh. Kebetulan saya tidak bisa tidur lagi gara-gara sms tadi !”
Balasannya langsung aku terima. Kali ini istriku tidak sampai terbangun lagi, karena setting ponselku sudah dalam modus diam.
“Maaf. Seribu kali maaf ! Tadi itu salah kirim.”
Aku balas lagi,
“Seribu kali masih kurang ! Besok aku pasti ngantuk di kantor, gara-gara sms tadi!”
Balasannya,
“Sejuta kali maaf. Semilyar kali maaf. Tapi cukup dulu sms-nya. Saya sudah mengantuk sekali. Sudah cukup masalah saya hari ini. Selamat malam !”
Aku juga mulai mengantuk Jadi kubalas,
“selamat malam !”
Aku tengah terangguk-angguk mengantuk menikmati irama laju bis yang membawaku meninggalkan Palembang menuju tempat aku bekerja di Prabumulih ketika nada pesan diponselku berbunyi.
Dari nomor yang nyasar semalam.
“Selamat pagi, maaf kalau mengganggu. Saya Lira, yang semalam salah kirim sms. Situ siapa ?Kalau boleh kenalan….”
Aku belum langsung menjawab. Mempertimbangkan dulu beberapa kemungkinan jawaban. Menjawab secara jujur, apa adanya atau berbohong dengan menyebut sembarang nama, mengaku berusia lebih muda atau berjenis kelamin perempuan.
Akhirnya aku balas seperti ini;
“Saya Gun. Pria usia 41 th, menikah dengan dua anak….”
Agak lama aku menunggu balasannya sampai akhirnya nada panggil ponselku berdering.
“Saya Lira. Wanita usia 32 th, menikah dengan satu anak. Boleh saya panggil Kak Gun ?”
“Jangan, panggil saja Mas Gun ! Saya orang Jawa, kok !”
“Oke, Mas gun. Kerja di mana, Mas ?”
“Pegawai Pemerintah di Prabumulih…, kamu ?”
“Jadi Mas Gun tinggal di Prabumulih ? Saya sering ke Prabu….”
“Nggak, saya tinggal di Palembang. Cuma hampir tiap hari ngantor di Prabu. Dik Lira kerja di Prabu juga ?!”
“Nggak juga, salah satu toko saya ada di sana. Jadi sering ke Prabu, ngecek barang atau apalah !”
“Salah satu ? Berarti Dik Lira saudagar dong ?!”
“Nggak, Mas. Selain yang di Prabu, hanya satu di Palembang, satu di Kayu Agung. Saya sendiri tinggal di kayu Agung.”
“Satu tambah satu tambah satu kan jadi tiga !? Punya tiga toko kok nggak mau di bilang saudagar ?”
“Iya deh, terserah Mas saja mau panggil apa….”
“Saudagar Lira sekarang lagi ada di mana ?”
“Ngledek terus ah…, “
Suara tawa Lira terdengar renyah sekali. Di luar, aku melihat kabut kemarau masih menyelimuti hawa pagi.
“Saya masih di rumah. Tapi rencananya siang ini mau ke Prabumulih, memeriksa stok barang menjelang puasa dan lebaran.”
“Saya malahan sedang di perjalanan ke Prabu, nih….”
“Ehm….”
“Kok ehm, sih ! Kenapa ?”
“Mas masih ingat sms saya semalam…?”
“Tentang curhat ?”
“Iya, Mas masih mau mendengarkannya…?”
“Gimana kalau kita ketemu saja ? saya punya waktu saat istirahat makan siang nanti…!”
“Oke deh kalau begitu. Nanti siang kita ketemu…, makasih Mas !”
Agak lama aku termenung mengingat kalimat terakhir dari Lira itu. Secepat inikah ? Ada suara yang bertanya dalam batinku. Suara nuraniku sendiri. Akan berlanjutkah hal yang pada awalnya sekedar iseng ini ? Bis sudah melewati Talang Taling, ku pejamkan mata mencoba meredam semua tanya itu.
***
2. Lira
Dulu ketika menikah, aku yakin Bang Monang adalah jodoh yang di ciptakan Tuhan untukku. Lebih dari sekedar jodoh, ia adalah lelaki sempurna yang ku dapat. Berasal dari keluarga Batak yang terpandang, kaya dan juga terdidik, Bang Monang adalah suami romantis yang penuh cinta. Ditambah lagi keluarga besarnya yang penuh perhatian dan selalu siap membantu. Aku bahagia.
Namun, hidup adalah roda yang berputar. Senang dan duka, bahagia dan tak bahagia, gembira dan kecewa selalu berganti-ganti. Kita tidak pernah dapat memilih salah satu saja. Tahun ketiga perkawinan kami, aku belum juga mengandung. Keluarga besar yang tadinya baik dan penuh perhatian, mulai kasak-kusuk. Bang Monang yang romantis sedikit demi sedikit mulai berubah. Sampai tahun ke lima, ketika kami mengadopsi anak, aku sudah benar-benar terkucil dari keluarga besar itu. Soal mengadopsi anak itu kurang tepat sebetulnya kalau ku sebut kami. Karena aku sendiri yang berinisiatif melakukan hal itu. Bang Monang sendiri, hampir tidak pernah menaruh perhatian lagi terhadap apa yang aku lakukan. Hal yang sama yang ia minta aku juga melakukannya.
Aku mencoba untuk mengikuti permainan ”tidak mencampuri urusan masing-masing” itu. Mencoba sekuat tenaga. Dan aku mulai menangis. Sedih dan menderita. Istri mana yang dapat berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat seorang perempuan lain melahirkan dari sang suami. Mungkin ada istri seperti itu, tapi jelas bukan aku. Lalu pertengkaran dan kekerasan fisik dan psikis.
Yuni, teman dekat yang menjadi tempat curhatku berkali-kali menasehatiku untuk segera keluar dari permainan yang menyengsarakan itu. Tapi, aku sendiri heran hingga saat ini belum juga aku keluar dari permainan itu.
“Aku tahu wanita seperti apa kamu, Lira. Tegar, berani, mandiri…. Yang aku tidak tahu, mengapa sampai sekarang kamu masih saja ikut dalam permainan yang tidak mungkin kamu menangkan itu ?!”
Ujar Yuni dengan nada yang menyiratkan perasaan heran dan sesal.
“Entahlah, Yun !”
“Apakah sedemikian besar cintamu pada Monang ?”
“Cinta ? Entahlah Yun, aku malahan sudah lupa pernah mencintai Bang Monang…!”
“Lalu…, apa lagi yang kamu pertahankan ?!”
“Entahlah, Yun !”
“Entahlah…? lagi…?!”
Yuni seperti kehabisan kata-kata.
***
3. Indralaya
Indralaya, bagi orang lain mungkin hanya sebuah tempat berjarak tigapuluhan kilometer dari Palembang yang menjadi persimpangan antara arah Kota Prabumulih dan Kayu Agung. Tapi bagi kami berdua, maksudku Aku dan Lira, Indralaya adalah persimpangan antara khayalan dan kenyataan, antara canda tawa gembira dengan murung dan kesedihan, antara perpisahan dan perjumpaan.
“Mas Gun, bisa nggak ya ngasih jawabannya…!?”
Kata Lira suatu ketika. Kami sedang duduk menikmati tekwan di sebuah warung dekat terminal Indralaya.
“Pertanyaannya apa dulu…?!”
Aku balik bertanya.
“Kenapa wanita perlu tidak bahagia dulu baru bisa selingkuh. Sedangkan pria, tetap bisa selingkuh meski kehidupannya bahagia…?”
Aku sedikit terpukul dengan pertanyaan Lira yang tentu muncul dari keadaan kami berdua.
“Karena pria bermaksud membagi kebahagiaan sedangkan wanita berkeinginan memperoleh kebahagiaan. Dik Lira boleh membantah lho kalau tidak setuju….”
Sebetulnya aku asal saja menjawab. Tapi Lira tampaknya betul-betul memikirkan jawaban itu. Sejenak ia seperti melamun.
“Mas Gun betul. Saya setuju kalau mas bilang pria selalu memiliki banyak kebahagiaan untuk di bagi. Tapi mungkin sedikit saja pria yang ingat kalau ia harus adil seadil-adilnya ketika membagi kebahagiaan itu….”
“Dik Lira juga benar. Ketika si pria tidak adil membagi.Maka yang di terima sang wanita bukan lagi kebahagiaan, melainkan kesengsaraan….”
Lira mengangguk menyetujui ulasanku itu.
“ Ngomong-ngomong, pertanyaan Dik Lira tadi itu berkaca dari keadaan kita, ya ?!”
“Saya tidak dapat mencari kata lain yang lebih halus tentang keadaan kita, Mas !”
Ujar Lira,
“Tapi Mas Gun, apapun istilahnya saya berterima kasih pada Mas Gun atas hubungan kita. Kalaupun hubungan kita memang perselingkuhan, saya siap menghadapi segala resikonya. Saya bersedia bertanggung jawab, di hadapan Tuhan sekalipun !”
Keteguhan hati Lira terdengar mengharukan di telingaku. Tapi aku merasa kecut juga mendengarnya. Mampukah aku seteguh itu dalam hubungan kami ini ?
***
“Pak Gun ? Saya Monang, suami Lira. Sebetulnya saya tidak peduli dengan apa yang dilakukan istri saya. Tapi, situasinya mengharuskan saya menghubungi bapak untuk bertanya beberapa hal…!”
“Boleh ! Kita ketemu saja di….!”
Aku mencoba setenang mungkin menjawab suara di ujung sana. Ku sebut nama cafe di sebuah hotel. Di seberang sana, Monang berterima kasih atas kesediaanku bertemu.
“Saya tahu Lira…. dengan bapak…!”
Aku tersenyum melihat Monang kesulitan mencarikan kata untuk menyebut hubunganku dengan Lira. Lucu karena mengingat Monang adalah orang Batak yang konon suka tembak langsung itu.
“Selingkuh ? Begitu kan istilahnya Dik Monang, boleh saya panggil Adik ?!”
Monang mengangguk. Entah mengiyakan istilah yang kupakai atau membolehkan aku memanggilnya adik.
“Justru inilah yang hendak saya tanyakan pada Bapak…. “
Monang berhenti sejenak, matanya menatap tajam. Seperti hendak mencari sesuatu dari diriku.
“Silahkan saja, Dik. Saya akan jawab sejujur-jujurnya.”
Aku menebak Monang pasti menginginkan hal itu.
“Saya memang sangat mengharapkan kejujuran Bapak. Apakah Bapak pernah…. dengan Lira ?!”
Tangan Monang bergerak menggambarkan sesuatu. Aku mafhum dengan arti gerakan tangan Monang itu.
“ Alhamdulillah, Dik. Supaya adik percaya, selengkapnya akan saya katakan begini : Demi Allah, saya dan Lira tidak pernah melakukan itu ! Atau kalaupun adik kurang percaya, bolehlah kata tidak itu di ganti dengan belum….”
“Lira hamil, Pak ! Dan saya yakin tidak ada laki-laki lain selain Bapak ….”
“Dik Monang sendiri…, apa tidak pernah lagi…?!”
Aku melakukan gerakan tangan seperti yang dilakukan Monang tadi. Monang seperti terkaget dengan pertanyaanku itu. Agak lama dia tercenung. Lalu, di luar dugaanku lelaki ini terguguk menangis.
“Terima kasih, Pak. Pertanyaan Bapak itu mengingatkan aku bahwa selama ini aku sudah berlaku sangat tidak adil terhadap Lira, istriku sendiri. Tuhan pasti mengingatkan saya lewat Bapak….”
“Boleh jadi, Dik. Tapi yang jelas, Tuhan hendak mengembalikan kebahagiaan pada rumah tangga dik Monang dan Lira. Kebahagiaan yang dulu kalian kira sudah hilang dan coba cari di tempat lain….”
“Terima kasih, Pak !”
Sekali lagi Monang berterima kasih dan memelukku sebelum kami berpisah. Pelukan erat yang menguarkan aroma persahabatan. Pelukan yang sama pernah aku terima dari Lira dulu. Aku jadi teringat perkataan Lira tempo hari,
“Kalaupun hubungan kita memang perselingkuhan, saya siap menghadapi segala resikonya, di hadapan Tuhan sekalipun !”
Sekarang ini, aku juga bersedia bertanggung jawab, di hadapan Tuhan sekalipun.
***
Agak lama istriku tercenung mendengar ceritaku.
“mama marah dua kali pada Papa ! Pertama, kenapa Papa tidak cerita sejak awal. Kedua karena Papa sudah…, pinjam istilah papa sendiri, berselingkuh !”
Aku terdiam. Istriku memang pantas marah. Aku sudah bersiap menerima hal itu sejak awal aku bercerita padanya.
“Tapi, mama juga sudah memaafkan Papa dua kali. Pertama karena Papa sudah membantu sebuah keluarga meraih kembali kebahagiaan mereka. Kedua karena akhirnya Papa mau juga jujur sama Mama !”
Aku juga masih terdiam. Namun dalam hatiku mengucap syukur
“Pa, apa bener Papa punya begitu banyak kebahagiaan untuk di bagi ?”
Istriku bertanya, setengah bercanda mendengar ceritaku tentang Lira dan Monang. Aku diam. Sengaja menghindari pertanyaannya.
“Baru pertanyaan pertama saja Papa sudah nggak bisa jawab. Gimana yang kedua….”
“Apa pertanyaan keduanya…?”
Aku keceplosan bertanya. Istriku tertawa, merasa puas berhasil memancingku.
“Tebak sendiri…! Kalau tidak bisa, tunggu saja suatu ketika mungkin pertanyaan itu akan Mama sampaikan…, ih amit-amit deh !”
Aku terdiam. Istriku juga diam, menunggu reaksiku selanjutnya. Dari teras, suara Nabila si bungsu yang baru kelas dua SD mengisi keheningan yang sempat menguasai kami. Gadis kecil itu tengah menghapalan surat Al Ikhlas.
“Qul huwa Llaahu ahad….”
07 Ramadhan 1429 H

Jumat, 27 Agustus 2010

dua generasi

Dua Generasi

echi dan Ibunda ( 3 tahun dan 78 tahun )

hampir lebaran

Hampir Lebaran


Tanpa disadari, jam berlalu, hari berganti. puasa sudah lewat setengah. RasuluLLah membagi waktu puasa menjadi 3. Awal, tengah dan akhir. Sepuluh awal adalah Rahmah, sepuluh tengah adalah Maghfirah dan sepuluh akhirnya , Itqum minannar. Rahmah diberikan pada semua orang. Tempat hiburan tutup, warung makan dengan malu-malu memasang hijab. sepuluh kedua, magfirah, sebagian dari yang memperoleh rahmah

cerpen belum selesai

Meminang Ibu
Akhirnya terjadi juga . Ibu pergi begitu saja dari rumahku. Setelah dua bulan lebih beberapa hari aku mencoba berdamai dengan keadaan, hal yang ku cemaskan itu terjadi juga. Sebetulnya hal ini tidak terlalu memalukan. Ketika ibu menginap di rumah Neti, adik bungsuku, ia hanya betah dua minggu. Aku masih teringat gerutuan Beliau ketika aku menjemputnya.
“T idak ku sesali anaknya yang kurang ajar itu…!” kata ibu dengan nada jengkel.
“Tapi, perbuatan Neti dan suaminya yang lebih mempercayai kata-kata anaknya daripada aku, orang tuanya, itu yang menyakitkan hati !!”
Teringat kata-kata Ibu itu, ada perasaan kecut dalam hatiku, membayangkan apa pula yang akan yang dikatakan ibu pada Sul, kakak sulungku, yang menjemput ibu. Tapi semuanya sudah terjadi. Dari semua anak yang secara bergiliran ketempatan ibu selama kurang lebih setahun ini, aku yang terakhir mengalami kejadian ini. Rekor yang tidak terlalu memalukan. Selain itu, ibu cukup lama berdiam di rumahku, hingga siang ini aku menerima telpon dari Mas Sul, Ibu minta dijemput….
Kami lima bersaudara, sul yang tertua. Sam, nomor dua. Aku sendiri, Yunanto nomor empat dan Neti, si bungsu. Sejak ayah meninggal dunia, ibu bergiliran menginap di rumah kami. Selain keinginan beliau sendiri, kami juga dengan senang hati menerima Ibu. Kasihan rasanya melihat beliau hanya berdiam di rumah dengan Mbok Nah, si pembantu yang sudah mengikuti Ibu sejak kami masih kecil-kecil.
Tapi

cerpen : tiga

Tiga

Cerpen : Nilawaty Rajab
(Prelude)
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Rachel mendadak terbangun. Sepertinya barusan ia mimpi buruk. Gadis itu meringis. Kulit mukanya yang putih pucat menjadi sedikit merah akibat tarikan bibirnya itu. Matanya menerawang, menjelajah seisi ruangan. Hanya warna putih yang ia temui. Warna putih memang kecintaan Rachel. Apalagi warna putih serbuk yang berharga mahal itu. Dengan penuh gairah ia akan membakar warna putih itu, menghisapnya, membawa asap dari serbuk itu menyentak setiap pori, syaraf dan pembuluh darahnya. Warna putih yang sedemikian ia cintai, sampai mengorbankan segala miliknya. Segala apa yang berharga dari diri seorang gadis dengan tinggi 173 cm, berat 48 kg dan wajah ayu seperti ratu kecantikan. Sekarang, apa yang tersisa dari Rachel ? Mimpi Buruk ?
Lagi-lagi gadis itu meringis. Lengannya terasa ngilu. Tentu saja. Jarum suntik yang mengalirkan cairan infus itu sedemikian kejam menusuk lengannya yang kurus dan lemah. Tiba-tiba saja timbul keinginan Rachel untuk mencabut jarum itu infus itu. Ia ingin bebas. Ingin bangkit, berjalan bahkan berlari keluar. Ia ingin lari meninggalkan semua deritanya. Tapi kemana ? selalu saja setelah bebas, pergi dan berlari, ia masih kembali ke sini juga. Hanya ke sini lah tempat kembalinya. Sebuah kamar dengan dominasi warna putih. Ranjang yang keras dan tiang infus yang selalu menghalangi pandangan. Dan derita itu masih saja melekat padanya. Rachel tahu, penyebabnya adalah warna putih itu, serbuk itu. Tapi, ia tak dapat lepas juga. Ia cinta pada warna putih itu. Cinta setengah mati.
Pintu terbuka. Seorang wanita cantik namun mulai dikejar usia masuk. Rambutnya tertata rapi, sama rapinya dengan blazer warna coklat muda yang ia kenakan. Ketika ia duduk disamping ranjang Rachel, gadis itu melihat sejumput uban mulai menghiasi rambut rapi itu. Uban yang mungkin terlalu dini mengusik wanita itu. Tapi tidak juga, uban itu malahan seperti pertanda sang pemilik rambut mulai matang ditempa cobaan .
“Bagaimana harimu gadis cantik ?” wanita itu mengusap lembut pipi Rachel yang tirus
“Seperti yang mama lihat ! baik-baik saja ….”
Mereka berdua tersenyum. Senyum yang hampir serupa. Rachel memang mewarisi kecantikan mamanya. Tapi, dibagian dalam, hati keduanya juga teriris. Mana ada yang baik-baik saja. Dalam satu tahun ini, kata ulang itu, hampir hilang dari kamus hidup Rachel. Tubuh yang indah, gairah hidup yang menyala, kegembiraan masa muda…, entah ke mana, apa lagi yang tersisa ? Penderitaan itu bahkan dengan kejam merenggut keanggunan dari seorang wanita setengah baya yang dengan keteguhan batu karang mengemudikan bahtera rumah tangga sendirian. Setitik air menuruni pipi Rachel yang tirus lalu menimpa jemari mamanya yang berada di sisi kepala Rachel.
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Mariana terjaga. Barusan ia sempat terlelap. Desing pesawat yang gemerisik sekarang kembali mengisi gendang telinganya. Perasaan tertekan pada bagian perut membuatnya menunduk. Perasaan jijik yang datang tiba-tiba saja membuatnya mual. Ia jijik melihat bagian perutnya yang membuncit. Jijik dengan gerakan-gerakan halus dibalik dinding perutnya. Perasaan jijik yang sudah hampir setengah tahun ini mendera gadis berkerudung itu. Gadis berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu hampir tidak mampu menahan rasa mualnya. Dengan segera, kantong muntah ditangannya menjadi berisi.
Mariana sendiri heran, dalam kondisi perut kosong, masih ada saja sesuatu yang keluar bersama suara menggeram dari kerongkongannya. Tapi Mariana tidak perduli. Bahkan ia berharap semua yang ada diperutnya dapat keluar saat ini juga. Ia benci dengan sesuatu itu. Yang mengingatkan Mariana pada tembok penjara yang dingin. Mengingatkan Mariana pada suara-suara membentak, dengus napas birahi bercampur kebencian, teriakan marah dan kejam. Tapi harapan Mariana sia-sia. Sesuatu itu dengan tanpa perasaan tetap saja mercokol di perutnya. Bahkan, seiring putaran masa, ia semakin membuat perut Mariana kian membuncit.
Pesawat menurun. Suara yang keluar dari corong mengumumkan kedatangan mereka di Jakarta. Tubuh Mariana masih lemas. Perlahan ia bangkit. Mengikuti arus penumpang lain yang keluar. Di luar, hawa panas menyeruak. Seorang lelaki berseragam menghampiri Mariana.
“Ibu Mariana ?”
Mariana mengangguk lemah.
“silahkan Bu, ikut saya….”
Ramah sekali lelaki berseragam itu menggiring Mariana ke sebuah ruangan. Ruangan sempit dengan beberapa orang berseragam. Meski mereka mencoba menampakkan raut wajah ramah, tapi Mariana dapat merasakan udara dalam ruangan itu sama sekali tidak bersahabat.
“Ibu maaf, paspor ibu kami tahan…”
Mariana diam. Seakan kalimat itu bukan ditujukan pada dirinya. Petugas itu terpaku, agak ragu. Sempat saling lirik dengan temannya. Temannya yang berada di belakang Mariana memberi kode telapak tangan di kening, petugas yang menghadapi Mariana nyengir dan menyita paspor gadis itu. Mariana masih diam ketika keluar dari kantor itu, seorang bertampang sangar segera menaikkan Mariana ke minibus yang sudah menunggu. Gadis hamil tua itu hanya diam ketika barang-barang bawaannya dijarah dan ia di turunkan di tengah jalan yang tidak ia kenal. Hanya satu kalimat yang sempat ia keluarkan sebelum orang itu dengan kasar mendorongnya dari mobil,
“Mengapa tidak kalian renggut barang dalam perutku ini…, mengapa tidak sekalian kamu ambil nyawaku…!”
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Penderitaan bagi Muhammad Sutaryo adalah nama tengah. Penderitaan apalagi yang belum dirasakan oleh pemuda yang dipanggil Sutar ini. Ia lahir dekat gunungan sampah Bantar Gebang. Sampai tamat SMP, orangtuanya belum punya KTP dan Kartu Keluarga. Ia sendiri tidak punya akte kelahiran. Tapi Sutar tidak menangis. Ia malahan sudah lupa, bagaimana menangis. Kepahitan baginya semacam jamu saja. Tambah pahit, semakin sehat badan. Apalagi Sutar juga rajin bekerja. Sebut saja pekerjaan kasar yang ada. Hampir semua sudah pernah ia lakoni. Sejalan dengan waktu, pemuda miskin itu menjelma menjadi gatotkaca dari gunungan sampah. Gatotkaca ini yang karena kuasa Allah, selalu rajin sholat dan puasa.
Penderitaan, sesungguhnya adalah hal yang aneh. Dua orang yang mengalami penderitaan yang sama, bias jadi mengeluarkan pendapat yang jauh berbeda. Karena orang Jawa, sejak kecil Sutar mengenal laku tirakat. Penderitaan adalah api yang dapat menghancurkan orang hingga menjadi abu. Tapi api dapat pula menggembleng orang menjadi baja. Penderitaan adalah batu pengasah yang dapat mengubah dan menghilangkan bentuk seseorang. Tapi batu pengasah yang sama dapat menjadikan mutiara kian memancarkan cahayanya. Dan Sutar adalah mutiara.
Adalah Kombespol Wiguna yang melihat mutiara kecil itu berada diantara tukang bangunan yang tengah merenovasi rumahnya. Mutiara hitam dengan mata jernih dan wajah bersih ini, menarik hatinya. Perwira menengah itu tersenyum gembira ketika lewat percakapan ringan, mendapai cita-cita si hitam kecil ini ialah, menjadi polisi ! Empat tahun kemudian, tidak ada yang berubah di wajah dan hati Sutar, kecuali seragam coklat dan satu balok di pundaknya.
(Interlude)
Muhammad Sutaryo, selalu kesekolah dengan baju dekil dan bau nuansa “sampah”. Tidak banyak teman yang ia miliki. Teman dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena kebanyakan temannya selalu mengaitkan keberadaannya dengan sampah, kerja kasar, hitam, miskin dan kata-kata sejenis itu. Ia hanya memiliki dua teman, Mariana dan Rachel. Mariana , gadis yang sama-sama ikut pengajian rohis. Rachel, aktivis gereja yang sering mengulurkan bantuan di lingkungan Sutar. Tapi, keduanya adalah bintang dan bulan bagi pemuda pemalu itu. Ia hanya dapat memendam rasa suka pada keduanya. Sama sekali ia tidak berani, bahkan untuk sekedar mimpi, berdekatan dengan mereka berdua.
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Jawabannya, tanyalah pada Rachel, Mariana atau mungkin Sutar.

Palembang, awal Juni 2010