Rabu, 27 Oktober 2010

Mbah Marijan....

Mbah marijan pernah menghebohkan kehidupan sosial seantero Indonesia ketika beliau berani menantang letusan gunung merapi dengan menolak mengungsi beberapa tahun yang lalu. Atas keteguhan sikapnya itu, selanjutnya ia dianugerahi gelar lelaki tangguh oleh sebuah merek minuman energi dan dikontrak iklan.

         Namun hari ini, lelaki tangguh itu tersungkur diterjang amukan gunung yang dikunceninya. Akhirnya fakta mengalahkan kira-kira. Faktanya memang kalau gunung berapi hendak meletus, kita manusia yang lemah harus mengungsi jauh-jauh. agar terhindar dari segala mara bahaya. Bukan kira-kira bahwa gunung tersebut kenal dengan orang yang sudah berpuluh tahun hidup da jadi kuncen di sana.
        Manusia dianugerahi akal budi. Tuhan mempercayakan ke khalifahan di bumi pada manusia, agar manusia menggunakan akal sehatnya sebaik mungkin untuk mengenal tanda-tanda kekuasaanNya. Gunung api, adalah salah satu tanda kekuasaanNya. Entah si gunung tidur atau meraung murka, kita tetap harus menghormati dan menjaganya, sebagai salah satu mahluk ciptaan Allah yang Maha Perkasa, tidak lebih. 

Selasa, 19 Oktober 2010

kompi

Cara Menghapus File / Folder Yang Tidak Bisa Dihapus
Terkadang, pasti kita pernah mendapati bahwa suatu file / folder yang ingin kita hapus, tidak bisa dihapus secara manual.. Nah, di sini, akan saya paparkan penjelasan terperinci dan bagaimana untuk menghapusnya tanpa perlu menggunakan software external tambahan..

Pertama akan saya paparkan cara menghapus file / folder yang tidak bisa dihapus dengan peringatan semacam ini..
Access Denied

Semua masalah tentang file / folder yang tidak bisa di-delete ini sebenarnya bermula dari satu kata.. “Handle”.. Karena Handle ini-lah, suatu file / folder tidak bisa di-delete..

Lalu? Apa sebenarnya Handle ini? Handle merupakan semacam interface yang ditambahkan/disisipkan ke
dalam suatu objek yang dapat bergerak, berubah ukurannya, ataupun fungsi lain yang terdapat dalam suatu objek. Dalam dunia programming, Handle merupakan semacam penunjuk/identifier (id) yang memberikan akses kepada objek tersebut.

Terlalu rumit, ya? Saya harap tidak.. Tapi, jika anda kurang mengerti, akan saya berikan penjelasan yang lebih simple.. Handle merupakan semacam jalan untuk mengakses suatu objek entah file, folder, atau yang lain..

Oke, dalam hal ini, file / folder yang ingin kita hapus telah di-handle oleh aplikasi lain. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita untuk menghapus suatu file / folder sementara aplikasi lain masih memiliki handle pada file / folder tersebut. Sama saja seperti misalnya teman anda meminjam handphone anda, lalu tiba-tiba anda teringat untuk menghubungi seseorang. Teman anda adalah komputer, dan handphone anda adalah file / folder yang ingin anda hapus. Tidak mungkin ‘kan anda langsung merebutnya begitu saja dari teman anda? Apa yang akan teman anda pikirkan? Situasi di sini mirip seperti keadaan kita, namun masalahnya, komputer tidak memiliki perasaan seperti teman anda. Jadi, ada cara untuk menghapus file / folder yang tidak bisa dihapus itu..

Ikuti langkah berikut..

* Pertama, launch Task Manager, ada 3 cara, bisa anda pilih sesuka hati, pertama dari Run > ketik “taskmgr” tanpa tanda petik. Kedua, Tekan kombinasi Ctrl + Alt + Del, atau, yang Ketiga, Tekan kombinasi Ctrl + Shift + Esc.



End It!

End It!
* Setelah Task Manager berhasil di launch, pilih [Tab] Processes, ini adalah [Tab] Kedua, setelah Applications. Klik [Tab] Processes ini, kemudian cari tulisan “explorer.exe” (besar kecilnya huruf tidak berpengaruh, sebab terkadang di sistem yang berbeda, besar kecil huruf juga berbeda, seperti EXPLORER.EXE, atau Explorer.Exe)
* Setelah anda pilih/seleksi Explorer.exe, klik kanan, pilih End Process/End Process Tree, ataupun klik tombol End Process di bagian bawah, saat ada kotak konfirmasi yang keluar, tekan Yes.
* Jangan Tutup Task Manager-nya! Oke, Semestinya, sekarang layar desktop dan taskbar sudah menghilang secara misterius, bukan? Jangan takut, ini bukan ulah Virus atau siapapun.. Ini adalah side effect jika anda meng-end process Explorer.exe. Tenang saja-lah, ini tidak apa-apa.
* Anda belum menutup Task Managernya kan? Bagus kalau begitu, eh? Sudah ditutup? Hmm.. Munculkan saja lagi dengan cara tadi, lewat Ctrl + Alt + Del atau Ctrl + Shift + Esc. Oke, bila Task Manager sudah muncul, klik menu File, pilih “New Task (Run…)”
* Di kotak baru yang terbuka, ketikkan “explorer” atau “explorer.exe” tanpa tanda petik, dan OK!
* Voila! Desktop dan Taskbar sudah muncul kembali.. Oke, sekarang coba delete lagi file / folder tadi, semestinya sudah bisa.

Side Note:

* Cara ini takkan berhasil bila, Anda sedang menjalankan aplikasi yang menggunakan file / folder tersebut, Handle! Seperti penjelasan di atas. Contohnya, dalam folder MP3, ada sebuah file MP3 yang sedang anda putar dengan winamp atau Windows media player. Coba saja delete file MP3 yang sedang dimainkan atau delete Folder MP3 Tersebut. Dijamin akan keluar tulisan access denied seperti diatas. Silahkan tutup terlebih dulu aplikasi yang bersangkutan dengan file / folder tersebut.
* Terkadang cara ini tak berhasil, cukup log off, atau, kalau perlu, restart.
* Cara diatas bisa diaplikasikan juga bila Flash Disk anda tidak mau di safely-remove.. Jangan cabut paksa! Coba cara di atas, dan coba safely remove kembali..

Semoga Bermanfaat!
– Gunakan Cara baru yang lebih ampuh untuk menghapus file/folder yang anda inginkan Bila anda tetap tidak bisa menggunakan cara ini.. –

Minggu, 17 Oktober 2010

Ulangan

1. Dua vektor P dan Q besarnya 40 dan 20 satuan. Jika sudut antara kedua vektor tersebut sebesar 60o , maka besar dari P-Q adalah ….
a. 20
b. 20√3
c. 30
d. 40√3
e. 60

2. Besaran-besaran di bawah ini adalah skalar , kecuali ….
a. Massa
b. Waktu
c. Suhu
d. Momentum
e. Massa jenis



3. Dua vektor masing-masing 3 satuan dan 8 satuan. Agar nilai resultannya menjadi minimum, maka sudut antara keduanya haruslah sebesar ….
a. 180o
b. 120o
c. 90o
d. 60o
e. 0o

4. Dua vektor yang titik tangkapnya sama besarnya F1 dan F2 . jika F1 = F2 = Resultannya. Maka besar sudut apit antara kedua vektor itu adalah ….
a. 30o
b. 45o
c. 60o
d. 90o
e. 120o

5. Dua vektor memiliki pangkal berimpit dan masing-masing besarnya 3 N dan 4 N. Jika sudut apit antara kedua vektor tersebut 60o, maka resultan keduanya adalah ….
a. √34 N
b. √35 N
c. √37 N
d. √38 N
e. √39 N

6. Komponen vektor pada sumbu X dan Y dari vektor P adalah 4 m dan 6 m. komponen vektor pada sumbu X dan Y dari vektor (P+Q) adalah 0 dan 9 m. Maka panjang vektor Q adalah ….
a. 10 m
b. 9 m
c. 6 m
d. 5 m
e. 4 m

7. Dua vektor gaya sama besar yaitu 10 N membentuk sudut 120o satu sama lain. Selisih kedua vektor tersebut adalah ….
a. 0 N
b. 10√2 N
c. 10 N
d. 10√3 N
e. 20 N

8. Dua vektor memiliki pangkal berimpit dan masing-masing besarnya 3 N dan 5 N. Jika sudut apit antara kedua vektor tersebut 60o, maka resultan keduanya adalah ….
a. 7 N
b. 8 N
c. 9 N
d. 10 N
e. 12 N

9. Dua vektor yang titik tangkapnya sama, besarnya F1 = 3 N dan F2 = 8 N. jika Resultan gaya ternyata sebesar 7 N . Maka besar sudut apit antara kedua vektor itu adalah ….
a. 30o
b. 45o
c. 60o
d. 90o
e. 120o

10. F3 F1 tiga buah vektor seperti pada gambar, besar resultan ketiganya
adalah…. (1 skala = 1 Newton )
a. 1 N d. 4 N
b. 2 N e. 5 N
c. 3 N
F2

11. Dua vektor yang titik tangkapnya sama, besarnya F1 = 20 N dan F2 = 80 N dan saling membentuk sudut yang berubah-ubah. Maka Resultan gaya antara kedua vektor itu tidak mungkin bernilai ….
a. 60 N
b. 70 N
c. 90 N
d. 100 N
e. 120 N


12. Perahu yang mampu bergerak dengan kecepatan 1,2 m/s bergerak menelusuri sungai searah arusnya. Jika kecepatan arus air saat itu adalah 0,5 m/s, maka resultan vektor kecepatan perahu tersebut adalah ….
a. 0,6 m/s
b. 0,7 m/s
c. 1,3 m/s
d. 1,7 m/s
e. 2,4 m/s

13. Dua vektor yang titik tangkapnya sama besarnya a = 3 satuan dan b = 4 satuan . jika a + b = 5 satuan maka besar sudut apit antara kedua vektor itu adalah ….
a. 30o
b. 45o
c. 60o
d. 90o
e. 120o

14. Dua vektor yang titik tangkapnya sama besarnya a = 8 satuan dan b = 14 satuan . jika besar sudut apit antara kedua vektor itu adalah 180o, maka resultan keduanya sebesar ….
a. 4 N
b. 5 N
c. 6 N
d. 7 N
e. 8 N

15. Ditentukan dua vektor yang sama besarnya yaitu F. Bila perbandingan antara besar jumlah dan besar selisih kedua vektor tersebut = √3, maka sudut yang terbentuk antara keduanya sebesar ….
a. 30o
b. 37o
c. 45o
d. 60o
e. 120o

16. panjang vektor A = 8i + 6j adalah ….
a. 2 satuan
b. 10 satuan
c. 14 satuan
d. 24 satuan
e. 48 satuan

17. Vektor A besarnya 20 satuan, membentuk sudut 60o terhadap sumbu x positif di kuadran pertama. Besarnya komponen A dalam arah horizontal dan arah vertikal adalah ….
a. 10 satuan dan 10√3 satuan
b. 10√3 satuan dan 10 satuan
c. 20√3 satuan dan 10 satuan
d. 10 satuan dan 20√3 satuan
e. 10 satuan dan 30√3 satuan

18. Dua vektor masing-masing panjangnya 10 cm dan 20 cm, keduanya membentuk sudut 37o , maka hasil kali skalar dan hasil kali vektor keduanya adalah ….
a. 160 cm2 dan 120 cm2
b. 120 cm2 dan 160 cm2
c. 100 cm2 dan 120 cm2
d. 160 cm2 dan 100 cm2
e. 120 cm2 dan 100 cm2

19. Sebuah balok ditarik tiga gaya seperti pada gambar. Resultan gaya yang bekerja pada balok sebesar…. 8 N a. 2 N b. 6 N c. 10 N d. 14 N e. 22 N

4 N 10 N

20. Vektor A dan B dilukiskan sebagai berikut , maka besar (A + B) adalah ….

a. 8 satuan b. 10 satuan c. 28 satuan
d. 36 satuan e. 64 satuan

Dalam periodisasi sastra, Taufik Ismail digolongkan sebagai penyair angkatan 66. Sebuah angkatan yang lahir dari pergolakan politik antara golongan yang disebut dengan orde lama dan melahirkan golongan baru yang dinamai orde baru. Seiring perjalanan sang waktu, Taufik Ismail tak pelak lagi merupakan salah satu penyair senior yang terpenting saat ini. Hal ini, semakin terasa, setelah penyair senior lainnya semacam WS Rendra dan Hamid Jabbar meninggal dunia. Istilah senior ini dipakai untuk menggambarkan jalan panjang kreatifitas yang beliau tekuni sejak era tahun 60-an.

Perjalanan kreatifitas Taufik Ismail dalam pandangan Puja Sutejo (2009) digambarkan sebagai berikut :
…sebagai penyair protes awalnya, Taufik berujung pada puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisan Taufik pada awalnya digerakkan oleh (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan dan (b) bagaimana keprihatinannya alir ketika melihat kepincangan sosial di awal persalinan Orde Baru yang pucuknya adalah politik kesenian Manikebu.
Jika ditelusur hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak pada (a) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realita bangsa yang mengerikan, (b) keprihatan realita baca tulis yang naif di dunia pendidikan, dan (c) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif melalui gerakan baca dan cipta sastra baik di kalangan guru maupun siswa. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan akan pentingnya pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih dari itu, kemudian bagaimana pentingnya tumbuhnya kesadaran generasi, etos, dan pentingnya empati kemanusiaan….


Salah kumpulan puisi Taufik Ismail yaitu Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit 2003. Puisi-puisi dalam MAJOI rata-rata ditulis dalam kurun waktu Mei – November 1998 dan terkait dengan peristiwa Lengsernya Rejim Soeharto dan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Meskipun, seperti kumpulan puisi Beliau sebelumnya (misalnya Tirani dan Benteng), MAJOI berupa puisi-puisi snapshot atau puisi-puisi famlet yang mudah dipahami, namun tidak membuat berkurangnya unsur keindahan dan daya tarik yang dikandung oleh puisi-puisi dalam kumpulan tersebut. Keindahan dan daya tarik yang membuat kumpulan ini banyak dijadikan sebagai bahan penelitian. Misalnya Eko Sri Israhayu (2007) yang melakukan telaah historis, estetis dan sosiologis puisi-puisi dalam kumpulan puisi MAJOI sebagai tesis di Universitas Diponegoro.
Meskipun dibuat sebagai hasil pantauan dan perenungan penulisnya terhadap peristiwa tahun 1998 namun makna-makna yang terkandung dalam puisi-puisi itu tidak kehilangan relevansinya hingga sekarang. Misalnya carut marut penegakan hukum kita saat ini dapat dicari jejaknya pada kutipan berikut :
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
(dari puisi MAJOI)

Atau kutipan yang menyoroti tingginya angka pengangguran dan kemiskinan berikut ini :
Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka
(dari puisi Seratus Juta)

Hal yang sesungguhnya menyedihkan. Karena setelah 12 tahun reformasi digulirkan, bangsa dan Negara Indonesia belum juga berhasil tinggal landas menuju kemajuan dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama, bahkan sejak kita menyatakan kemerdekaan lebih dari 65 tahun yang lalu. Daya tarik estetika dan relevansinya dengan kehidupan bangsa dan Negara saat inilah yang mendorong penulis untuk membahas puisi-puisi dalam kumpulan puisi MAJOI tersebut.



2. PERMASALAHAN
2.1. Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah bagaimana menguraikan nilai estetis puisi-puisi Karya Taufik Ismail dalam kumpulan puisi MAJOI dengan menggunakan kajian Stilitika.
2.2. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada beberapa puisi dari kumpulan puisi MAJOI yaitu : “Takut 66, Takut 98” dan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Pemilihan 2 (dua) buah puisi ini semata-mata karena kerterbatasan penulis untuk membahas semua puisi yang ada dalam kumpulan yang menghimpun sekitar seratus puisi tersebut, bukan karena alasan estetis atau lainnya.

3. PEMBAHASAN MASALAH
3.1. Sekilas Tentang Kajian Stilistika
Kata Stilistika berasal dari bahasa Inggris, stylistics yang diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi stilistika. Akar kata stylistics berasal dari kata dalam bahasa Latin, stilus. Kata ini dalam makna harfiahnya berarti alat (yang ujungnya tajam) yang digunakan untuk menulis lembaran-lembaran. Namun pada perkembangannya kemudian, kata ini memiliki arti khusus tentang penulisan; kritik terhadap kualitas sebuah tulisan (lihat Nurhayati, 2008)
Para ahli memberikan beberapa pengertian kajian Stilistika. Menurut Sudjiman(1984:71) Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Keris Mas (1988:3) mengatakan bahwa Stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra.Sedangkan Nurhayati (2008:10) sependapat dengan pernyataan Leech dan Michael Short Stilistics,…the study of the relation between linguistic form and literary function. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra.
3.2. Metode Kajian
Metode kajian yang digunakan dalam makalah ini ialah metode deskriptif dengan data yang bersifat kualitatif. Sugiyono (2008:23) menyatakan bahwa data kualitatif adalah data yang berupa kalimat, kata atau gambar. Dalam makalah ini, data tersebut adalah puisi-puisi dari kumpulan puisi Majoi karya Taufik Ismail. Farkhan (2007:12) menuliskan bahwa penelitian kualitataif adalah penelitian yang mengandalkan data verbal dan non numerik. Nurhayati(2008:45) menyatakan kajian ini bertujuan mencandrakan secara sistematis fakta-fakta tertentu. Fakta tersebut dalam hal ini adalah puisi Taufik Ismail.
Unsur-unsur pada puisi yang dianalisis dalam makalah ini dapat dilihat pada tabel
Unsur-unsur yang dianalisis
Kajian Stilistika Struktur Batin
1. perimaan
2. linguistik
3. diksi
4. citraan
5. kata-kata konkret
6. bahasa figuratif 1. tema
2. perasaan
3. nada
4. amanat

3.3. Kajian Terhadap Puisi-puisi Dalam kumpulan Puisi MAJOI
3.3.1 Kajian Puisi Takut ’66, Takut ‘98
3.3.1.1 Takut ’66, Takut ‘98
Puisi “Takut 66, Takut 98” merupakan puisi Taufiq Ismail yang cukup pendek dalam MAJOI. Sebab, dibandingkan dengan puisi-puisi Taufiq yang lain, yang rata-rata ditulis dengan gaya prosais, maka puisi “Takut 66, Takut 98” hanya ditulis dalam 6 larik pendek. Kendati hanya ditulis dalam 6 larik pendek, interpretasi atas puisi ini dapat lebih panjang dari puisi-puisi prosais Taufiq lainnya yang terdapat dalam MAJOI. Puisi “Takut 66, Takut 98” yang hanya 6 larik sesungguhnya memuat subject matter yang demikian dalam. Perhatikan kutipan berikut.
Takut ’66, Takut ‘98
1. Mahasiswa takut pada dosen
2. Dosen takut pada dekan
3. Dekan takut pada rektor
4. Rektor takut pada menteri
5. Menteri takut pada presiden
6. Presiden takut pada mahasiswa.
(MAJOI, hal. 3)


3.3.1.2 Mesodiplosis dan Paradoks sebagai Kekuatan Estetik
Pada bagian awal analisis puisi “Takut ’66, Takut ‘98” telah disinggung bahwa puisi ini
merupakan puisi yang cukup pendek dalam MAJOI, dibandingkan dengan puisi-puisi Taufiq lainnya yang rata-rata cukup panjang. Sesuai dengan pengakuan Taufiq pada bagian Kata Penutup, bahwa untuk melengkapi kehadiran puisinya yang menggunakan gaya berkabar, ia senantiasa mencari eufoni. Yang dimaksud dengan eufoni menurut Sudjiman (1984: 30) rangkaian bunyi yang harmonis dan enak didengar dalam puisi. Lawan dari eufoni adalah kakofoni, yaitu rangkaian bunyi yang tidak harmonis yang sengaja digunakan dalam puisi untuk mencapai efek artistik atau menggoda perhatian pembaca.
Ismail (2005:202-206) menerangkan bahwa dalam puisi yang ditulisnya ia senantiasa mencari eufoni. Eufoni dicari untuk menimbulkan kesedapan bunyi melalui kata-kata yang mengalir lancar dan enak didengar telinga. Eufoni merupakan pintu musikalitas bermakna. Untuk membuat eufoni dalam puisi dituntut kemampuan penyair dalam mengorganisasi bunyi. Eufoni tidak hanya merupakan pilihan bunyi, tetapi juga berupa penyusunan bunyi. Menurut Taufiq, repetisi bunyi yang sama atau mirip, penting sekali. Taufiq secara sadar menggunakan teknik tersebut. Menurut Fananie (2001: 30-31) repetisi merupakan teknik yang menduduki
frekuensi paling tinggi dalam dunia penulisan puisi. Mengapa penyair melakukan hal demikian? Sebab, dengan pengunaan gaya repetisi dimaksudkan untuk mengintensitaskan makna.
Demikian halnya pada puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, cukup jelas Taufiq melakukan mesodiplosis untuk mencapai eufoni. Mesodiplosis adalah salah satu jenis teknik repetisi yang berupa perulangan kata di tengah kalimat. Simak mesodiplosis yang digunakan Taufiq pada larik-larik berikut.
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
(MAJOI, hal. 3)
Kata “takut” yang diulang-ulang Taufiq dalam puisi pendek di atas, bukan berarti Taufiq tidak mempunyai pengetahuan kosa kata yang memadai. Teknik yang dilakukan Taufiq tersebut adalah bentuk penggunaan mesodiplosis yang secara sengaja dilakukan olehnya untuk memberi aksentuasi pada karya yang ia tulis. Dengan menggunakan teknik di atas, menjadikan puisi pendek Taufiq dalam MAJOI tersebut mempunyai kekuatan tersendiri.
Dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, Taufiq tidak hanya menggunakan gaya bahasa mesodiplosis tetapi ia mengunakan pula gaya bahasa paradoks. Disebut paradoks, karena pernyataan penyair: “Presiden takut pada mahasiswa” pada larik akhir, merupakan kontradiksi dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Semestinya, Presiden tidak takut dengan mahasiswa, tetapi takut pada pihak lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi darinya, misalnya takut kepada Tuhan atau takut kepada Ketua MPR. Bukankah larik-larik sebelumnya menggambarkan ketakutan dari satu pihak pada pihak lain yang lebih tinggi derajadnya? “Mahasiswa takut pada dosen/ Dosen takut pada dekan/ Dekan takut pada rektor/ Rektor takut pada menteri/ Menteri takut pada presiden/” Mengapa di larik akhir Taufiq menyatakan “Presiden takut pada mahasiswa?”
Penggunaan mesodiplosis sekaligus paradoks dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, merupakan gaya pengucapan Taufiq yang cukup menarik. Puisi ini tidak hanya memiliki kekuatan dari segi tema, tetapi cukup matang pula dari segi penggunaan bahasa. Kedua teknik pengucapan yang ditempuh Taufiq, yakni mesodiplosis dan paradoks dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, mengindikasikan bahwa puisi tersebut ditulis oleh penyair yang cukup piawai dalam mengorganisasi bunyi. Kedua teknik yang dilakukan Taufiq semakin membuat puisi “Takut ’66, Takut ‘98” menjadi demikian konsentratif dan aksentuatif.

3.3.2 Kajian Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
3.3.2.1 Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Sesuai dengan judul yang dibuat penyair, maka dalam puisi ini tergambar perasaan aku lirik yang merasa malu menjadi manusia Indonesia. Mengapa aku lirik merasa malu menjadi manusia Indonesia? Sebab aku lirik merasa, kebanggaannya menjadi manusia Indonesia seperti yang dialaminya pada tahun 1956, kini telah habis terkikis. Aku lirik tak dapat membanggakan negerinya kini karena merasa begitu banyak kecurangan, keganjilan yang telah mendominasi sebagian besar kehidupan berbangsa. Jika dicermati secara seksama larik demi larik yang terdapat pada puisi “MAJOI”, barangkali dapat dipahami perasaan malu yang dialami aku lirik. Berikut kutipan sebagian puisi yang dimaksud.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utamanya
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi orang Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph. D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U. S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

(MAJOI, hal. 19)
3.3.2.2 Kritik terhadap Negeri yang Carut Marut
Jika membaca larik demi larik yang terdapat pada bait 1, 2, dan 3 puisi “MAJOI”, maka dapat ditangkap feeling yang ditunjukkan yakni adanya rasa bangga menjadi manusia Indonesia. Dengan menggunakan aku lirik, penyair mengisahkan dirinya yang merasa bangga menjadi orang Indonesia seperti dapat dicermati pada larik-larik berikut.
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utamanya
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi orang Indonesia
(MAJOI, hal. 19)
“Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia” (larik akhir bait 1), dan “Dadaku busung jadi orang Indonesia” (larik akhir bait 3) adalah cerminan rasa bangga yang dialami aku lirik pada sekitar tahun 1956. Citraan/ gambaran suasana yang terdapat pada bait pertama, kedua, dan ketiga puisi di atas jika dibandingkan dengan citraan yang terdapat pada bait-bait berikutnya, akan terasa adanya suasana yang kontradiktif yang dialami aku lirik. Suasana kontradiktif yang dialami aku lirik merupakan cermin kegelisahan historis. Aku lirik yang semula sebagai pribadi yang optimis tiba-tiba berubah menjadi inferior. Hal ini dapat dilihat pada larik-larik yang dicetak tebal seperti tampak pada kutipan berikut.
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph. D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U. S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
(MAJOI, hal. 19)
Tentu ada penyebab yang membuat aku lirik “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri”,
yakni karena adanya rasa bangga sebagai “anak revolusi Indonesia“ dan memiliki pahlawan yang gagah berani seperti Bung Tomo. Kebanggaan yang disimbolkan dengan “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri”, tiba-tiba mengalami hal yang kontradiktif sehingga aku lirik pun kemudian mempertanyakannya dengan: “Mengapa sering benar aku merunduk kini”. Tentu perubahan sikap aku lirik yang tercermin pada larik 4 dan 5 bait keempat puisi “MAJOI”, bukanlah perubahan yang tiba-tiba. Pada larik-larik dan bait selanjutnya dapat diketahui hal yang menyebabkan aku lirik berubah sikap dari optimismenjadi pesimis atau inferior.
Penyebab perubahan sikap aku lirik adalah tampaknya tidak saja disebabkan adanya kegelisahan historis tetapi tergambar juga adanya kegelisahan sosiologis. “Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak”, adalah larik-larik yang menunjukkan adanya kegelisahan sosiologis aku lirik. Secara logika, sebuah negara hukum mestinya memiliki pilar hukum yang kuat, tetapi hal ini tampaknya tidak ditemui aku lirik. Hal ini dapat dicermati pada ungkapan Taufiq dalam larik-larik berikut.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
Curang susah dicari tandingan,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk
Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz, Iran dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan
sebagai saksi terang-terangan,

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(MAJOI, hal. 21)
Larik-larik yang dicetak tebal pada kutipan di atas adalah gambaran kasus-kasus kelemahan hukum di Indonesia. Sudah tentu kasus-kasus tersebut membuat stigma negatip bagi negeri Indonesia, sehingga menyebabkan aku lirik dalam puisi di atas menjadi inferior untuk mengaku sebagai orang Indonesia. Kendati demikian, rasa inferior tersebut bukanlah gambaran adanya krisis nasionalisme yang dimiliki aku lirik. “Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/ Dan kubenamkan topi baret di kepala/ Malu aku jadi orang Indonesia.”, sebenarnya merupakan kritik atas situasi negeri yang carut marut. Penyair melalui larik-larik tersebut hendak menyampaikan feeling-nya, bahwa ia cukup prihatin atas realitas sosial yang ada.
Ia melihat, rasa malu yang dimiliki orang Indonesia mulai menipis bahkan banyak yang sudah kehabisan stok rasa malu, sehingga melakukan perbuatan-perbuatan curang. Jika dahulu orang masih berpikir beberapa kali untuk melakukan kecurangan atau perbuatan yang melanggar hukum, maka kini karena didorong oleh ambisi pribadinya yang lebih besar, orang dengan tenang atau tanpa rasa bersalah sering melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Begitu banyak perbuatan melanggar hukum yang sudah tidak malu-malu lagi dilakukan orang, sehingga penyair merasa kesulitan menemukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Ia pun dengan
gundah mengungkapkan tentang hal tersebut melalui larik-larik: “Di negeriku budi pekerti
mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam / kehidupan ssehari-hari sebagai jarum hilang
menyelam di / tumpukan jerami selepas menuai padi.”

3.2.2 Bunyi sebagai Kekuatan Puisi Prosais
Pradopo (1993:22) mengemukakan bahwa bunyi di dalam puisi bersifat estetis. Bunyi merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi dalam puisi di samping hiasan juga mempunyai tugas yang cukup penting yakni untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan, dan menimbulkan suasana yang khusus. Fungsi bunyi seperti dikemukakan Pradopo di atas tampaknya disadari benar oleh Taufiq Ismail. Oleh karena itu, hampir sebagian besar karya yang ditulisnya selalu mempertimbangkan kemerduan dan keharmonisan bunyi (eufoni). Hal ini pula yang menyebabkan Taufiq Ismail senantiasa mempertimbangkan secara matang setiap pilihan kata yang digunakan dalam rangka memperoleh bunyi-bunyi yang indah. Kesadaran akan hal tersebut membuat Taufiq tidak secara gegabah dalam mengekspresikan karyanya, sehingga pada puisi corak diaphan yang ditulisnya, puisi Taufiq tetap indah untuk dinikmati.
Pada bagian Kata Penutup MAJOI, Taufik (Ismail, 2005: 201) mengemukakan prinsipnya sehubungan dengan pilihan kata dalam proses kreatifnya menulis puisi. Ia tidak sepaham dengan pendapat yang menyatakan bahwa untuk menulis puisi harus menggunakan kata-kata yang padat, atau harus sedikit kata-kata. Daripada hendak memenuhi syarat padat dan minimum kata, tetapi kata-kata yang digunakan tidak indah serta gagap berkomunikasi, Taufiq lebih memilih membuat puisi yang banyak kata tapi cantik dan menyentuh perasaan. Bagi Taufiq, puisi wajib musikal, kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata sedap tersebut telah diseleksi secara ketat terlebih dahulu.
Puisi ini terdiri dari 89 larik yang dibagi menjadi 22 bait. Puisi yang sumber inspirasinya berasal dari situasi sosial ini diekspresikan penyairnya dengan diksi puitis dan rima yang cukup diperhitungkan. Sama halnya dengan puisi-puisi Taufiq yang telah dianalisis terdahulu, yang mengutamakan adanya eufoni, demikian halnya dengan puisi “MAJOI”. Puisi prosais ini ditulis Taufiq dengan mempertimbangkan unsur bunyi sebagai sarana kepuitisan untuk mencapai nilai estetis. Penyair menempuh sejumlah cara sehubungan dengan pemilihan bunyi-bunyi untuk menimbulkan kepuitisan. Cara yang ditempuh misalnya dengan menciptakan rima depan, rima rangkai, dan kakofoni.
Pada bait 1 – 4, Taufiq Ismail menggunakan rima rangkai. Rima rangkai yang diciptakan penyair pada bait-bait tersebut berupa perulangan bunyi-bunyi vocal pada setiap akhir larik. Perulangan bunyi pada bait 1 – 4, sebagian besar berupa perulangan bunyi vokal “a” (terdapat pada bait 1 – 3 ), jika dihubungkan dengan rasa yang timbul dari pembacaan atas bait-bait tersebut maka perulangan bunyi tersebut melambangkan rasa riang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjahjono (1988: 57) yang menyatakan bahwa eufoni merupakan bentuk perulangan bunyi yang cerah, biasanya ditunjukkan dengan perulangan bunyi vocal: a, i, dan e. Kebalikan eufoni adalah kakofoni, yaitu perulangan bunyi yang menimbulkan suasana ketertekanan batin, berat, mengerikan, kebekuan, kesunyian, ataupun kesedihan. Kakofoni biasanya dibentuk oleh vokal o, u atau diftong au. Bahkan kakofoni kadang dibentuk oleh konsonan.
Dalam memperoleh efek puitis pada puisi “MAJOI” selain menggunakan eufoni, Taufiq Ismail menggunakan pula sarana estetika yang lain, yakni: kakofoni, rima depan dan rima rangkai. Kutipan bait berikut adalah contoh adanya kakofoni, rima depan dan rima rangkai yang digunakan penyair secara bersama-sama untuk memperoleh efek puitis.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahril dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(MAJOI, hal. 19)
Adanya perulangan bunyi konsonan “k” pada larik 1 – 3 merupakan bentuk kakofoni yang diciptakan penyair agar diperoleh efek puitis. Kakofoni pada larik tersebut tidak sekadar hiasan puisi sebab kakofoni memberikan citraan/ gambaran suasana keprihatinan aku lirik menyaksikan hukum yang tak tegak di negerinya, bahkan doyong berderak-derak.
Penyair tampaknya, merasa kurang puas jika hanya menggunakan kakofoni sebagai sarana estetika untuk mencapai efek kepuitisan karyanya. Ia juga menggunakan rima depan, sehingga perulangan kata “berjalan” makin mengintensitaskan makna. Rima depan yang ditulis penyair selain membuat puisi memiliki irama, juga turut menyumbang keutuhan bait dan citraan suasana yang ingin digambarkan penyair. Demikian halnya dengan rima rangkai pada larik-larik di atas.
Pada bait 1-5, penyair masih mengandalkan rima rangkai sebagai kekuatan estetis
dari puisinya yang prosais, tetapi setelah bait 5 ternyata penyair menempuh cara lain untuk membuat puisinya tetap menarik. Cara yang dimaksud adalah dengan menggunakan rima depan. Pada bait 6 – 21, penyair mengulang kata “di negeriku” sebanyak 15 kali untuk mengawali setiap bait. Perulangan kata “di negeriku” tersebut tentu bukan karena penyair tidak memiliki pengetahuan kosa kata lain untuk menggantikan kata “di negeriku”. Perulangan kata “di negeriku” tersebut semata-mata karena sang penyair bermaksud hendak mengintensitaskan makna yang terkandung dalam puisinya agar dapat lebih dirasakan pembacanya. Berikut kutipan sebagian rima depan “di negeriku” pada puisi
“MAJOI”.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
Curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu, dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangatsangat-
sangat-sangat-sangat jelas penipuan besarbesaran
tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan
tak putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
Terdapat 15 perulangan “Di
negeriku” dari bait 6 – 21,
sebagai bentuk rima depan.
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk
Bursa Efek Jakarta secara resmi,
(MAJOI, hal. 20-21)
Dalam Kata Penutup MAJOI, Taufiq (Ismail, 2005: 203) mengemukakan pendapatnya bahwa kehadiran puisi dapat menimbulkan dua kenikmatan. Pertama, kenikmatan rohani yakni kenikmatan yang dirasakan seorang penyair setelah berhasil menuliskan sebuah puisi. Kedua, kenikmatan jasmani yakni kenikmatan yang dirasakan penyair setelah membacakan (mementaskan) puisi yang telah ditulis. Penciptaan puisi “MAJOI”, barangkali dimaksudkan penyair tidak sekadar sebagai karya yang dapat memberikan kenikmatan rohani bagi penyairnya, tetapi puisi ini dapat pula memberi kenikmatan jasmani. Seandainya puisi “MAJOI” dibacakan di depan publik, dengan adanya kakofoni, rima depan dan rima rangkai yang secara maksimal dimanfaatkan penyair untuk kepentingan pencapaian efek puitiknya, tentu pembacaan atas puisi ini menjadi menarik.
Dalam pembacaan akan muncul adanya tekanan dinamik, tekanan nada dan tekanan tempo yang cukup apik. Tekanan dinamik berkaitan dengan tekanan pada kata yang dianggap penting atau menjadi inti kalimat dan bait puisi. Tekanan nada berkait dengan tinggi rendah suara yang diekspresikan saat membacakan puisi. Tekanan tempo memiliki kaitan dengan cepat lambatnya pengucapan suku kata atau kata dalam larik-larik puisi.






4. Simpulan
Menyimak puisi-puisi Taufik Ismail dalam kumpulan puisi MAJOI maka kita akan mendapati bahasa Taufik pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis. Dalam gerak dan larik puisinya sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Semacam wisata eksistensialisme di balik berbagai realitas ironis keindonesiaan.
Kekuatan puisi Taufik Ismail tidak hanya terdapat pada pilihan kata, rima dan pencitraan puisi itu sendiri, tapi juga terletak pada muatan puisi-puisinya sebagai dokumen sejarah (setidaknya dalam satu versi yang lebih obyektif). Dokumen masih relevan untuk kita jadikan sebagai bahan masukan pembanding dalam menilai dan mencari jalan keluar terhadap berbagai permasalahan kehidupan bangsa yang belakangan ini kian terasa berat dan melelahkan.












DAFTAR PUSTAKA






Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah sastra. Pabelan, Surakarta : Muhammadiyah University Press

Farkhan, M. 2007. Proporsal Penelitian Bahasa dan Sastra. Jakarta: Cella

Eko Sri Israhayu , 2007. Telaah Historis, Sosiologis dan Estetis Puisi-Puisi Malu (Aku) Jadi
Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail Tesis pada program pascasarjana fakultas sastra
Universitas Diponegoro

Keris Mas 1988. Perbincangan gaya bahasa sastera. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia

Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistik. Palembang : Penerbit Unsri

Pradopo , R.D.1993, Pengkajian Puisi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

PuJa Sutejo 2009Belajar dari Imaji Kepenulisan Taufik Ismail
http://thereogpublishing.blogspot.com/


Sudjiman, P (Ed.) 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta : Gramedia

Sugiyono, 2008. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

Taufik Ismail 2005 kumpulan puisi Majoi

Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia : pengantar teori dan apresiasi. Ende :
Nusa Indah, 1988.

Belum ada Sastrawan Kita di sini !

Belum ada Sastrawan Kita di sini !
Setelah membaca beberapa situs tentang sastra Indonesia yang gegap gempita, saya jadi tertarik untuk mengetahui sudah adakah sastrawan (at all category) Indonesia yang mencatatkan dirinya dalam daftar peraih nobel sastra, dan hasilnya sebagai berikut :

(Dari Wikipedia bahasa Indonesia)
Penghargaan Nobel dalam Sastra diberikan pada orang yang "karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju". "Karyanya" biasanya menunjuk ke karya pengarang secara keseluruhan, bukan kepada karya satuan, namun karya satuan kadangkala disebut dalam penghargaan ini. Akademi Swedia menentukan siapa yang akan menerima penghargaan ini setiap tahun.
Daftar penerima penghargaan Nobel dalam Kesusastraan sejak 1901 sebagai berikut:
Tahun Nama


1901Sully Prudhomme (Prancis)
1902Christian Matthias Theodor Mommsen (Jerman)
1903Bjørnstjerne Martinus Bjørnson (Swedia-Norwegia)
1904Frédéric Mistral (Prancis) dan José Echegaray y Eizaguirre (Spanyol)
1905Henryk Adam Aleksander Pius Sienkiewicz (Polandia Kongres)
1906Giosuè Carducci (Italia)
1907Joseph Rudyard Kipling (Inggris)
1908Rudolf Christoph Eucken (Jerman)
1909Selma Ottilia Lovisa Lagerlöf (Swedia)
1910Paul Johann Ludwig von Heyse (Jerman)
1911Pangeran Maurice Polydore Marie Bernard Maeterlinck (Belgia)
1912Gerhart Hauptmann (Jerman)
1913Rabindranath Tagore (India)
1914
tidak ada
1915Romain Rolland (Prancis)
1916Carl Gustaf Verner von Heidenstam (Swedia)
1917Karl Adolph Gjellerup (Denmark) dan Henrik Pontoppidan (Denmark)
1918tidak ada
1919Carl Friedrich Georg Spitteler (Swiss)
1920Knut Hamsun (Norwegia)
1921Anatole France (Prancis)
1922Jacinto Benavente Martínez (Spanyol)
1923William Butler Yeats (Irlandia)
1924Władysław Stanisław Reymont (Polandia)
1925George Bernard Shaw (Irlandia)
1926Grazia Deledda (Italia)
1927Henri-Louis Bergson (Prancis)
1928Sigrid Undset (Norwegia)
1929Paul Thomas Mann (Republik Weimar)
1930Harry Sinclair Lewis (AS)
1931Erik Axel Karlfeldt (Swedia)
1932John Galsworthy (Inggris)
1933Ivan Alekseyevich Bunin (Uni Soviet)
1934Luigi Pirandello (Italia)
1936Eugene Gladstone O'Neill (AS)
1937Roger Martin du Gard (Prancis)
1938Pearl Sydenstricker Buck (AS)
1939Frans Eemil Sillanpää (Finlandia)
1940tidak ada
1941
1942
1943
1944Johannes Vilhelm Jensen (Denmark)
1945Gabriela Mistral (Chili)
1946Hermann Hesse (Swiss-Jerman)
1947André Paul Guillaume Gide (Prancis)
1948Thomas Stearns Eliot (Amerika Serikat)
1949William Cuthbert Faulkner (AS)
1950Earl Bertrand Arthur William Russell (Inggris)
1951Pär Fabian Lagerkvist (Swedia)
195François Charles Mauriac (Prancis)
1953Winston Churchill (Inggris)
1954Ernest Miller Hemingway (AS)
1955Halldór Kiljan Laxness (Islandia)
1956Juan Ramón Jiménez Mantecón (Spanyol)
1957Albert Camus (Prancis)
1958Boris Leonidovich Pasternak (Борис Леонидович Пастернак) (Uni Soviet)
1959Salvatore Quasimodo (Italia)
1960Saint-John Perse (Prancis)
1961Ivo Andrić (Yugoslavia)
1962John Ernst Steinbeck (AS)
1963Giorgos Seferis (Yunani)
1964Jean-Paul Sartre (Prancis), menolak
1965Mikhail Aleksandrovich Sholokhov (Михаил Александрович Шолохов) (Uni Soviet)
1966Shmuel Yosef Agnon (Israel) dan Nelly Sachs (Jerman-Swedia)
1967Miguel Ángel Asturias Rosales (Guatemala)
1968Kawabata Yasunari (Jepang)
1969Samuel Barclay Beckett (Irlandia)
1970Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn (Алекса́ндр Иса́евич Солжени́цын) (Uni Soviet)
1971Pablo Neruda (Chili)
1972Heinrich Theodor Böll (Jerman Barat)
1973Patrick Victor Martindale White (Australia)
1974Eyvind Johnson (Swedia) dan Harry Edmund Martinson (Swedia)
1975Eugenio Montale (Italia)
1976Saul Bellow (Kanada/AS)
1977Vicente Pío Marcelino Cirilo Aleixandre y Merlo (Spanyol)
1978Isaac Bashevis Singer (AS)
1979Odysseas Elytis (Yunani)
1980Czesław Miłosz (Polandia/AS)
1981Elias Canetti (Inggris)
1982Gabriel García Márquez (Kolombia)
1983Sir William Gerald Golding (Inggris)
1984Jaroslav Seifert (Cekoslowakia)
1985Claude Simon (Prancis)
1986Akinwande Oluwole Soyinka (Nigeria)
1987Joseph Brodsky (Rusia/AS)
1988Naguib Mahfouz (Mesir)
1989Camilo José Cela Trulock (Spanyol)
1990Octavio Paz Lozano (Meksiko)
1991Nadine Gordimer (AfSel)
1992Derek Alton Walcott (St. Lucia)
1993Toni Morrison (AS)
1994Kenzaburo Oe (大江 健三郎)(Jepang)
1995Seamus Justin Heaney (Irlandia)
1996Wisława Szymborska (Polandia)
1997Dario Fo (Italia)
1998José de Sousa Saramago (Portugal)
1999Günter Grass (Jerman)
2000Gao Xingjian (高行健) (Prancis)
2001Vidiadhar Surajprasad Naipaul (Inggris)
2002Imre Kertész (Hongaria)
2003John Maxwell Coetzee (Afrika Selatan)
2004Elfriede Jelinek (Austria)
2005Harold Pinter (Inggris)
2006Ferit Orhan Pamuk (Turki)
2007Doris Lessing (Inggris)
2008Jean-Marie Gustave Le Clézio (Prancis)
2009Herta Müller (Jerman)
2010 Mario Vargas Llosa (Peru)

Ternyata belum ada sastrawan kita di sini. Saya pikir ada beberapa sebab hal ini terjadi,
1. Karena rentang waktu yang tercatat hanya dimulai 1901, padahal sastrawan macam Ronggowarsito misalnya mulai berkarya jauh sebelum itu
2. Kebiasaan sastrawan kita yang hanya menulis dalam bahasa Indonesia (?)
3. hingga kurang publikasi di luaran
4. mungkin karya sastrawan kita kurang sesuai dengan kriteria yang "karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju". WaLlahu a’lam

makalah




RELIGIUSITAS TOKOH DALAM NOVELETTE YANG HIDUP DI PINGGIRAN  KARYA TINUS KAYOMAN    
1.1. Latar Belakang
Dalam sebuah tatanan kehidupan berbangsa, nilai-nilai yang dianut masyarakat menjadi penjaga bagi utuhnya tatanan itu. Nilai-nilai itu juga membentuk karakter suatu bangsa. Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang maju dan terkemuka dalam percaturan dunia, selalu ditopang oleh suatu karakter yang penuh dengan nilai-nilai positif. Sebaliknya, jika nilai itu tergerus, akan menjadi sinyal awal bagi mundurnya suatu bangsa bahkan suatu peradaban.




Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  khususnya bidang komunikasi dan informasi, membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Sekat-sekat jarak dan waktu menjadi sempit bahkan seolah hilang sama sekali. Pemikiran, gagasan, harapan seseorang secara sadar atau tidak banyak pula mempengaruhi diri orang lain. Dalam skala yang lebih luas sering terjadi pergeseran nilai yang dianut dalam suatu masyarakat.  Pergeseran yang dapat dimaknai secara positif namun di lain kesempatan  dituding sebagai biang keladi hilangnya nilai positif dari suatu bangsa. Hal ini misalnya tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan oleh Suhariyanto dkk (1991 : 1-3) berikut :
                                Perkembangan  komunikasi,  baik   yang   bersifat  media  cetak           
                        maupun  yang   bersifat   elektronik  akan  membuat   dunia   ini   
                        seolah-olah  dekat   dan  akan  berpengaruh   langsung   ataupun   
                        tidak  langsung   terhadap    pergeseran  nilai-nilai.  Komunikasi
                        antara bangsa   menjadi lebih erat,   sehingga  kebudayaan  asing
                       dan    pola   berpikir ala  Barat   sering    berkembang     di tengah  
                        kehidupan     masyarakat kita….

        Untuk itu segala upaya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif (luhur) di tengah-tengah masyarakat menjadi penting. Sumber dari semua nilai luhur tersebut adalah kesadaran manusia akan fungsinya sebagai hamba Tuhan  (interaksi vertikal) , sebagai mahluk sosial (interaksi horizontal) dan sebagai bagian dari alam (lingkungan hidup). Sehubungan dengan hal ini, karya sastra memiliki peran penting sebagai salah satu upaya mempertahankan nilai luhur. Karya sastra memberikan pencerahan bagi jiwa manusia yang mengering dilanda arus kemajuan yang membawa pula sikap materialistik, konsumtif  dan cenderung hedonistik .
Melalui karya sastra pembaca tidak hanya diajak untuk  menikmati dan memahami ekspresi jiwa pengarang tetapi juga menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Nilai moral, didaktis, sosial dan religius yang terdapat dalam sebuah karya sastra diharapkan akan memberikan  masukan, contoh dan teladan bagi pembaca yang dapat diadaptasi dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing. Karena itulah, menjadi penting untuk meneliti bagaimana sebuah karya sastra memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepada para pembaca serta bagaimana pembaca dapat menarik pelajaran dari karya yang dibacanya.
Penulis memilih novelette Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman sebagai obyek penelitian. Tinus kayoman adalah nama pena dari Rajab Agustini, S.Pd. Lahir di Palembang,  8 agustus  1971. Mulai menyenangi dunia tulis menulis sejak  menjadi mahasiswa di jurusan pendidikan Fisika IKIP Negeri Semarang (sekarang bernama Universitas Negeri Semarang)   tahun 90-an. Dimulai dengan menulis puisi dan cerpen yang dimuat di majalah dinding fakultas, lalu berlanjut ke Koran kampus. Beberapa  kali puisi dan cerpennya menjadi pemenang lomba di tingkat  fakultas dan Universitas. Misalnya Pada tahun 1994 , cerpennya yang  berjudul Istri Pilihan , menjadi juara  lomba penulisan cerpen dalam rangka pekan seni dan sastra IKIP Negeri Semarang. Pada tahun-tahun itu juga, cerita-cerita pendeknya yang banyak bertema realitas kehidupan kaum marginal mulai menghiasi harian lokal di kota Semarang. Cerpennya yang berjudul Rencana dimuat dalam antologi cerpen RITUS, bersama dengan cerpen penulis semacam Triyanto Triwikromo serta mendapat pujian dari sastrawan Ahmad tohari.Karyanya yang berjudul Yang Hidup di Pinggiran ini penulis kutip dari kumpulan cerpennya yang berjudul Yuni Gang Empat yang di buat tahun 2008 dan belum diterbitkan
Setidaknya ada dua alasan untuk itu : pertama, karya ini belum pernah dijadikan bahan penelitian sebelumnya. Kedua, setelah membaca cerita Yang Hidup di Pinggiran  penulis mendapati bahwa  cukup menarik untuk membahas religiusitas tokoh-tokoh dalam karya ini. Sebagai pembanding, Kelaramita (2009) meneliti nilai moral yang terdapat dalam novel karya Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban. Sebuah novel dengan setting  pesantren   dan tokoh-tokoh bernama “Islam” serta pilihan diksi sarat dengan idiom-idiom keagamaan. Sebaliknya; setting, tokoh dan idiom dalam  novelette Yang Hidup di Pinggiran  boleh dikatakan bertolak belakang dengan novel itu. Tokoh utama dalam novelette ini ada tiga orang yaitu : Susi, seorang wanita penghibur, Bu Mar, seorang mantan “mami” dan Ustad Nurhidayat, seorang guru mengaji yang diduga terlibat perkara teroris. Berdasarkan hal inilah penelitian terhadap religiusitas tokoh dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman penulis anggap perlu dilakukan.

1.2.  Masalah   
masalah  yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas tokoh  dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman .

1.3.  Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mendeskrispsikan religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya  Tinus Kayoman sehingga diperoleh gambaran yang lengkap mengenai religiusitas tokoh-tokoh itu.  

1.4.  Manfaat
Secara teoritis hasil  penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran bahwa religiusitas menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah-tengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus menerus menggerus nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara praktis, diharapkan pembaca dapat  memperoleh gambaran tentang religiusitas dalam sebuah karya, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan memandangnya dengan sudut pandang yang segar dan orisinil. Bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik, kejelian dalam memilih sudut pandang pandang dan bahan pengajaran sastra diharapkan dapat meningkatkan gairah siswa untuk menikmati dan menekuni sastra Indonesia yang menurut para ahli masih memprihatinkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.   Karya Sastra, Perpaduan ide dan Perjalanan Batin Penulis   
            Karya sastra merupakan hasil pengungkapan sastrawan mengenai masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya. Suharianto (1982 :18) mengemukakan bahwa karya sastra berkemampuan menjadikan penikmatnya lebih mengenal manusia dengan kemanusiaannya karena pesan yang disampaikan dalam karya sastra tidak lain tentang manusia dengan segala perilakunya.
            Pengungkapan masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya merupakan hasil perpaduan daya imajinasi, ekspresi dan kreasi dengan pengalaman dan mata batin pengarang. Pengungkapan masalah kehidupan dalam karya sastra dipandang sebagai ide atau gagasan sastrawan, yang secara keseluruhan dituangkan ke dalam karya sastra (Esten, 1987 : 8). Dengan demikian, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjalanan kehidupan yang mendasari pengalaman dan menajamkan mata batin sang penulis akan memberikan warna bagi karya-karya yang lahir dari penulis tersebut.
            Sebuah karya sastra diciptakan sastrawan bukan untuk keperluan dirinya sendiri, tetapi dinikmati oleh pembaca atau penikmat karyanya. Sastrawan tidak hanya mengajak pembaca untuk mengetahui pesan yang disampaikannya tetapi mengajak untuk turut  merasakan sesuatu yang dirasakan penulis. Sebab  itu sastrawan tidak sekedar memindahkan sesuatu yang disaksikannya dalam kehidupan ini ke dalam karyanya tetapi sastrawan juga menafsirkan pengalamannya itu sesuai dengan keyakinan batinnya (Suharianto, 1982 : 18).
            Karya sastra merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengemukakan suatu pesan atau amanat kepada pembaca karyanya. Pesan tersebut dapat berisi ajaran moral, kritik sosial  atau pemikiran atau gagasan  yang mengundang pertanyaan dan diskusi lebih lanjut. Namun di atas semua itu, pesan yang menggugah kita untuk menimbang kadar religiusitas diri menjadi hal yang utama. Karena, dari religiusitas itulah lahir sikap moral, sosial dan nilai luhur lainnya dalam kepribadian seseorang.

2.2.  Religiusitas
            Religiusitas  berasal dari kata bahasa Inggris, religiousity. Religiusitas sering pula dipadankan dengan fenomena keberagamaan. Religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religi atau religion. Religi sendiri berasal dari bahasa Latin, religio yang akar katanya  re dan ligare yang berarti menghubungkan kembali yang telah putus. Yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dengan manusia yang telah terputus karena dosa-dosa manusia tersebut (Arifin, 1995)
            Menurut Gazalba (1985  kata religi berasal dari religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya ikatan antara manusia dengan suatu tenaga, yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta. Nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir dan hakikat dari semuanya.
            Darajat (1989) menyatakan bahwa ada dua istilah yang dikenal dalam agama. Yaitu religion consciousness (kesadaran beragama)  dan religion experience (pengalaman beragama) Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji dengan melakukan introspeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama. Pengalaman beragama membawa seseorang pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan dalam menjalankan agamanya.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiusitas bersifat universal. Religiusitas ada dalam semua agama. Bahkan religiusitas ada pada setiap jiwa manusia, apapun agama yang dipeluknya. Bahkan, seorang primitif yang belum tersentuh agamapun perlu mengejawantahkan religiusitasnya dengan berbagai kepercayaan dan ritual. Religiusitas menggambarkan kemesraan hubungan antara sang pencipta dengan mahluk hidup ciptaanNya. Lalu bagaimana makna religiusitas dalam hubungannya antara sesama mahluk ?  
            Dalam Islam, dikenal 3 (tiga) dimensi untuk mengukur religiusitas. Yaitu dimensi  akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)  dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Seorang muslim diperintahkan untuk menjalankan ketiga dimensi tersebut secara terintegrasi. Kejadian dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang yang kelihatan rajin menjalan ritual  agama namun terlibat korupsi atau seorang guru mengaji yang mencabuli anak muridnya adalah contoh yang membuktikan ketimpangan pada pelaksanaan salah satu dimensi di atas justru menutupi kebenaran dan keagungan agama itu sendiri.
Dengan kata lain, dimensi religiusitas seseorang akan sempurna jika tiga aspek itu berada sekaligus dalam kehidupannya, tidak boleh kurang satu aspekpun. Karena dengan lengkapnya aspek religiusitas tersebut dalam diri seseorang, maka barulah hidupnya akan sesuai dengan nilai luhur agama, apapun yang dipeluknya, dan bermanfaat bagi sesama bentuk kehidupan di dunia ini.

2.3. Religiusitas dalam Karya Sastra
     Membicarakan sastra, sastrawan dan religiusitas sepadan dengan menyimak kembali sejarah kesustraan Indonesia sendiri. Sajak-sajak Hamzah Fansyuri dan Amir Hamzah sering dijadikan contoh karya sastra yang menampilkan nilai religi. Larik puisi Amir Hamzah,  yang dijuluki raja penyair pujangga baru oleh HB Jassin, dalam puisi Padamu Jua,
Pulang   
                        kembali aku padamu, seperti
dahulu

                Dengan menafsirkan mu  sebagai pengganti kata Tuhan, maka  secara keseluruhan puisi itu menggambarkan dengan mempesona   perjalanan religius penyair  dan jadilah puisi itu sebuah puisi dengan religiusitas tinggi (Wijoto, 2001)
            Di kurun waktu berikutnya ada Abdul Hadi Wiji Muthari, dengan gagasan  sastra sufinya  atau dalam istilah Ahmadun Yosi Herfanda ,  puitika sufistik . Jika kebudayaan adalah sistem nilai   dan kesastraan adalah  ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM- dengan nilai esoterik  Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu-  adalah paradigma kebudayaan Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit satrawan Indonesia- bersama Kuntowijoyo, Emha ainun Nadjib- yang dengan gigih berusaha membangun tradisi penciptaan (sastra) yang lebih mencerahkan.(Yosi Herfanda, 2008)
            “Pada awalnya semua sastra adalah religius” demikian dikatakan oleh YB Mangunwijaya, seorang sastrawan, arsitek dan rohaniwan. Sebagai hasil sublimasi dari perjalanan batin sang penulis, karya sastra  tak akan lepas dari sikap religius penulis itu. Sejauh apapun sang penulis meninggalkan ikatan yang terputus antara dirinya dengan sang Pencipta, suatu ketika jiwanya akan kembali untuk menyambung ikatan itu, sebagaimana yang tersirat dalam larik puisi Padamu Jua, karya Amir Hamzah di atas.    
            Jadi, meskipun  Wijoto (2001) beranggapan sastra tidak mungkin bersatu dengan religi dalam teks, namun kelahiran teks sastra tetap melalui ruang religiusitas sang penulis. Masalahnya adalah sejauh mana pembaca dapat menangkap makna dan menafsirkan kata-kata penulis sebagai sebuah tulisan dengan kandungan religiusitas yang mencerahkan. Karena sebuah karya sastra yang baik tentulah membawa pencerahan bagi pembacanya.
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dalam sastra adalah sebuah keniscayaan. Karya sastra sebagai perwujudan perjalanan batin sang penulisnya tak akan lepas dari sikap religiusitas sang penulis itu sendiri. Sebab sejauh mana seorang penulis bertualang, suatu ketika pasti akan timbul pula kerinduan dalam dirinya untuk berasyik masyuk dengan sang Pencipta. 
            Dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman terdapat banyak dialog maupun paragraf yang menggambarkan  religiusitas  tokoh-tokohnya. Pada bagian pertama, Susi, Kembang wisma misalnya terdapat dialog sebagi berikut ; 
Susi   :  “Susi nggak ikut ah, teh ! teh Lilis pergi sendiri saja….”
 Lilis  : “kamu kenapa Sus? Malu…?!”
Susi   :  “iya, teh….”
Lilis   : “Sama Tuhan kok pake malu…, Dia mah paling baik  Sus….”

Dari dialog tersebut  terlihat adanya keyakinan dalam diri Lilis, yang meskipun seorang wanita penghibur yang hidup di tempat yang penuh dengan perbuatan dosa ternyata tetap memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah Zat yang paling baik. Hal ini sesuai dengan sifat Allah yang selalu dilafazkan umat Islam, ArRahman ArRahim (Maha Pengasih Maha Penyayang)
Pada bagian kedua, Bu Mar, Mami Insyaf  terdapat monolog sebagai berikut :
“Tuhan, pantaskah aku berdiri di hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh
“Tuhan,  pantaskah   aku   menadahkan  tangan memohon padaMu ?”
“Aku   malu   berdiri   di   hadapanMu   ya  Tuhan.    Dalam   mukena
 putih     ini, menutupi hitam   jalan hidupku. Tapi, jika tidak mengadu
 padaMu, tuhan yang mana lagi harus aku pilih ?!”

Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan banyak orang. Seseorang ketika mendapati diri telah menyimpang  jauh dari jalan Tuhan, seringkali menjadi ragu ketika hendak kembali. Keraguan yang lalu membersitkan pertanyaan, pantaskah aku kembali dalam keadaan seperti ini ?
Pertanyaan yang dijawab oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya yang menyatakan bahwa Tuhan sangat gembira menerima seorang hambaNya yang kembali. Jauh melebihi kegembiraan seorang saudagar yang menemukan kembali barang perniagaannya yang sudah lama hilang.  


2.4. Novelette
Novelette secara harfiah berarti novel kecil. Hal ini merujuk ke ukurannya yang berada antara ukuran cerita pendek (cerpen) dan novel.  Jika kisaran cerita pendek umumnya 7000 sampai 20.000 kata sedangkan novel 40.000 kata lebih, dengan demikian berarti  ukuran novelette berkisar antara 20.000 hingga 40.000 kata.
Adapula yang membaginya sebagai berikut : cerpen jika memuat kurang dari 7500 kata. Novelette berkisar antara 7500 hingga 17.500 kata. Novella yang memuat 17.500 hingga 40.000 kata dan Novel jika memuat lebih dari 40.000 kata. Dari pengelompokan ini jelas terlihat ukuran sebuah karya yang dapat dikategorikan novelette.
Dalam kahazanah sastra Indonesia, meskipun tidak sebanyak cerpen maupun novel, tetap ada novelette yang bermutu. Sebagai contoh, Sri Sumarah karya Umar Kayam. Sebuah novelette tentang perjalanan batin seorang wanita Jawa yang walaupun sejak kecil memegang doktrin ‘pasrah’ namun tetap saja mengarungi hidup dilautan waktu yang penuh ombak.
Sebagaimana novel, novelette juga terbilang karya sastra dalam bentuk yang lebih  baru dibandingkan dengan puisi dan drama,  novelette dapat berupa cerita rekaan yang menyuguhkan tokoh-tokoh dengan karakter tertentu. Menampilkan serangkaian peristiwa, suasana yang beragam serta latar dan tema yang beragam pula. Hal ini sebagai gambaran kehidupan dan perilaku sebenarnya yang dijalin dalam satu alur cerita yang menarik.      
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode
            Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memcahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menganalisis dan menginterprestasikannya (Surakhmad, 1995 : 47). Sedang menurut Nana Sudjana ( 1999 :52) penggunaan metode deskriptif untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian pada masa sekarang.
            Dengan demikian, metode deskriptif akan penulis gunakan untuk mendeskripsikan perjalanan religi masing-masing tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran   karya Tinus Kayoman,  sehingga akan ditemukan  kadar religiusitas tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan sebagai pengukur dimensi religiusitas tokoh-tokoh tersebut digunakan 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi  akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)  dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah)
3.2. Pendekatan
            Pendekatan yang digunakan dalam suatu pembahasan karya sastra umumnya ada didasarkan pada empat aspek yaitu :
1.      Pendekatan mimetik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada semesta
2.      Pendekatan pragmatik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pembaca
3.      Pendekatan ekspresif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pengarang
4.      Pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada karya
Dalam menganalisis novelette Yang Hidup di Pinggiran ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan ini menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra (Siswanto, 2008:190). Senada dengan itu  Suyitno( 2009:22) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan, untuk mencapai efek tertentu pada pembaca
   
3.3.Sumber Data    
            Sumber data dalam penelitian ini adalah novelette Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman yang termuat dalam kumpulan Cerpen Tinus Kayoman yang berjudul Yuni Gang Empat.
3.4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menelaah novelette Yang Hidup di Pinggiran  adalah teknik analisis karya. Teknik analisis karya adalah “penganalisisan hasil karya seseorang” (Surakhmad, 1985 : 125)
Langkah-langkah yang ditempuh  pada analisis data adalah :
1.      mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam cerita  ;
2.      mengklasifikasi tokoh-tokoh menjadi tokoh utama dan pendamping ;
3.      menganalisis religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman;
4.      menginterprestasikan hasil analisis;
5.      membuat kesimpulan.

3.5.  Jadwal Penelitian
     Berdasarkan langkah kerja yang telah disusun, maka direncanakan jadwal kegiatan seperti tercantum di bawah ini :
No.
Kegiatan
Tahun 2010   bulan ke
1
2
3
4
5
1
Persiapan




2
Pengumpulan data



3
Pengolahan data



4
Penyusunan naskah


 

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ringkasan Novelette Yang Hidup di Pinggiran
Susi, adalah seorang wanita penghuni sebuah lokalisasi. Perjalanan hidupnya penuh dengan cobaan. Ia yang berasal dari sebuah daerah di Jawa Barat, semula adalah ibu rumahtangga biasa dengan suami dan anak. Kematian sang suami menyebabkan ia terlantar dan diperistri oleh seorang juragan yang kemudian menjualnya ke lokalisasi. Kecantikan Susi menjadikannya salah satu idola di tempat itu.
Bu Mar, dulunya seorang wanita penghibur juga. Lalu ia menjadi penyedia  wanita-wanita penghibur bagi lelaki yang datang ke lokalisasi tempat Susi tinggal. Namun sejak kematian Mei, salah satu anak asuhnya (yang ternyata adalah anak kandungnya sendiri), Bu Mar bertobat. Sekarang ia  menjalani hidup dengan berjualan kebutuhan sehari-hari para penghuni lokalisasi itu.
Ustad Nur Hidayat, lulusan sebuah pondok pesantren yang banyak menghasilkan alumni terkenal. Namun ia sendiri menghilang tanpa kabar setelah lulus dari pesantrennya. Hingga suatu hari ramai pemberitaan tentang keterlibatannya dalam jaringan teroris. Keberadaannya tidak terlacak oleh siapapun. Namun tiba-tiba ia mengadakan kontak dengan sahabatnya semasa di pesantren dulu, Nur Salim.
Nur Salim yang merupakan adik kandung bu Mar lalu menyembunyikan Nur Hidayat di tempat Bu Mar, di lokalisasi yang sama dengan Susi. Perjalanan waktu kemudian menjadikan ketiganya (Susi, Bu Mar dan Ustad Nur Hidayat) terlibat dalam suatu hubungan batin yang mengharukan.
       
4.2.Religiusitas Tokoh-tokoh dalam Novelette Yang Hidup di pinggiran
4.2.1.      Religiusitas Tokoh Susi
Menjalani kehidupan yang keras, mengalami cobaan yang datang bertubi-tubi dan tinggal di lingkungan yang penuh dengan gelimang dosa, membuat Susi hampir putus asa dengan kebaikan sang Pencipta. Benarkah Tuhan itu ada? Benarkah Ia sangat baik terhadap hamba-hambaNya? Pertanyaan ini terlihat dari kalimat berikut :
                                Susi sih setuju nggak setuju dengan perkataan temannya itu.
                        Kalo memang Tuhan paling baik,   kenapa  Dia membiarkan
                        suaminya meninggal dunia ? Membiarkan dirinya dan anak-
                        anaknya   terlantar ?  Memberi  kesempatan   pada   Juragan 
                        untuk  menjadikannya  istri ke empat ? Melemparkannya ke
                        rimba   pelacuran   yang   penuh   lumpur  dosa  dan mahluk-
                        mahluk buas yang berwujud manusia ?

            Namun hubungan Susi tidak sepenuhnya putus dengan Tuhan. Keberadaan sebuah masjid di lokalisasi itu menjadikan Susi tetap terhubung dengan sang Khalik. walaupun dalam hatinya Susi juga mempertanyakan keberadaan masjid itu. Perhatikan kalimat berikut :
                                Mulanya Susi    bingung   memikirkan  keberadaan  mesjid itu.
Apa di tempat seperti ini masih ada yang ingat dengan Tuhan ?
Tapi  ketika  masuk   awal   bulan   puasa  kemarin, Susi cukup
terkejut   ketika   tahu   mesjid   itu   penuh  dengan orang yang
sembahyang tarawih…. 

            Demikian pula dengan datangnya bulan Ramadhan. Hubungan itu mulai merapat. Bulan puasa memang saat yang paling baik bagi mahluk untuk mengakrabi sang penciptanya. tidak terkecuali penghuni lokalisasi yang selama ini identik dengan para pendosa yang biasa melanggar larangan Tuhan. Perhatikan kalimat berikut ini :
                                Makanya sampat juga ia ikut tarawih hari pertama dan kedua
                        Jamaah tarawih di masjid  itu campur aduk ; ada anak germo,
pelacur   yang   belum  pulang  kampung  atau memang tidak
pulang  kampung,   laki-laki   hidung belang yang diam-diam
mampir biarpun sudah masuk bulan puasa….   
           
            religiusitas Susi kian mengental ketika akhirnya ia mengalami peristiwa pengeroyokan. Orang-orang yang sesungguhnya berseteru dengan Mas Parno, seorang juragan ikan asin yang menjadi pelanggan di lokalisasi itu. Namun Susi dan juga Lilis, sahabat baiknya menjadi korban juga. Lilis bahkan meninggal dunia, sedangkan Susi terluka parah. situasi kejiwaan Susi tergambar sebagai berikut :
                                Sudah lama Susi tahu jika sepi itu menyakitkan. Tapi baru
sekarang ini ia menyadari   bahwa   sepi   itu   juga  sangat
menakutkan. “Bu….jangan tinggalkan  Susi !” Susi meraih
jemari Bu Mar.   Bu   Mar   meletakkan  telapak tangannya
di ujung jari  Susi. Ia   tidak   dapat   menggenggam telapak
tangan   Susi   yang   terluka.   “Susi   takut  Bu…! Do’akan
Susi jangan mati, Susi mau tobat dulu…!”      
            Bencana dan cobaan memang memberikan dua kemungkinan pilihan bagi orang yang mengalaminya. Pertama,  ia menerima cobaan itu dan semakin mendekat pada Tuhannya. Atau ia berpaling, berlari dan  semakin menjauh dariNya. Susi beruntung, ia memilih yang pertama.                        

4.2.2.      Religiusitas Bu Mar
Bu Mar mengalami titik balik hubungannya dengan Tuhan ketika salah seorang wanita penghibur yang diasuhnya meninggal dunia secara tragis.  Mei, gadis penghibur yang meninggal dunia setelah menjalani  proses aborsi yang kejam. Gadis yang hingga kematiannya tidak pernah mengetahui bahwa Bu Mar, orang yang menjadikannya pelacur adalah ibu kandungnya sendiri. Ibu yang ketika ia menjemput ajal, sempat ia mohon bantuan do’anya.  
            Sejak saat itu, Bu Mar insyaf. pukulan batin yang ditimbulkan oleh peristiwa kematian Mei itu, membuat Bu Mar kembali menjalin hubungannya dengan Tuhan.perhatikan kutipan berikut :
                                Sekarang Mami Mar bersimpuh  di  atas  sajadah  baru
                        itu,  sejak azan Subuh tadi. Mukena baru yang ia kena-
                        kan ujung  bawahnya   lembab  oleh  airmatanya.  Dari
                        berdiri untuk mengerjakan  dua rekaat  Subuh, Airmata
                        yang   terus    mengalir   ia usap   dengan  ujung  bawah
mukenanya    itu.    “Tuhan,   pantaskah   aku  berdiri di
hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh“Tuhan,  pantaskah  
aku      menadahkan     tangan     memohon   padaMu ?”
berdiri    di   hadapanMu   ya  Tuhan.    Dalam   mukena
 putih     ini,   menutupi hitam   jalan hidupku. Tapi, jika
tidak mengadu  padaMu,   tuhan   yang   mana lagi harus
aku pilih ?!”

            Bu Mar tidak salah memilih tuhan. Karena hanya Tuhan yang disapanya melalui tangisan dalam sholatlah yang dapat menjawab semua pertanyaannya, mengabulkan harapan dan keinginannya. hal ini tergambar pada kalimat berikut ini :
                                Perjalanan hidupnya dua tahun ini meyakinkan Bu Mar,
Dialah yang  paling    pemaaf,   paling baik    dan paling
kaya. Takkan kecewa  orang  yang   datang  menghadap
dan  meminta  padaNya.

            Tuhan bahkan mengembalikan saudara Bu Mar yang sudah lama memutuskan hubungan persaudaraan.
                                Seraut wajah dengan rambut pendek rapi tersenyum lebar
di depan Bu Mar.   Wajah   yang lama sekali tidak pernah
muncul di depan Bu Mar. Wajah yang pemiliknya pernah
memutuskan   hubungan   dan  menganggap  sang mantan
germo itu  sudah  mati. Nur  Salim,  satu-satunya  saudara
Bu Mar  yang  masih  hidup.Kakak  tertua  mereka  sudah
meninggal  beberapa  tahun  yang  lalu.
  

4.3.Religiusitas Nur Hidayat.
Nur Hidayat berlatar belakang pedidikan pondok pesantren.  Dengan ilmu agama yang ia miliki, seharusnya Nur Hidayat dapat meniti karir seperti saudara sepondoknya yang lain. Menjadi pengajar di pesantren dan  ulama ditengah-tengah masyarakat. Namun ustad muda ini memilih jalannya sendiri. jalan yang mungkin menimbulkan berbagi pertanyaan dan mengundang perdebatan. Jalan yang saat ini, menjadi stigma bagi sebagian lulusan pondok pesantren. Perhatikan kutipan berikut ini :
                                Suara  lembut  itu terdengar jauh sekali di telinga Salim
                        suara  Nur   Hidayat.  Salim   teringat  suara  lembut ini
                        dengan  gaya  bacaan  yang  sederhana  dan lurus ketika
                        melantunkan ayat al Qur’an sering membuat pendengar-
                        nya    menitikkan    air    mata.  Adakah  benar  sekarang
pemiliknya   telah   menjadi teroris, musuh Negara yang
sebagian   besar   penduduknya   justru  saudara seiman?
Salim     menggeleng,     berusaha            mengenyahkan
kesedihan  yang  menyaputi  dadanya.

Namun, religiusitas tokoh ini tidak tergoyahkan oleh hal tersebut. Dalam pelariannya, ia tetap menjalani kewajibannya sebagai seorang ustad, yaitu mendakwahkan agama. Di lokalisasi yang menjadi tempat persembunyiannya, Nur Hidayat menemukan lahan dakwah baru, mengajar mengaji pada anak-anak maupun penghuni lokalisasi lainnya. Sebagaimana kutipan berikut :
                                Minggu-minggu   pertama  musola   itu dibuka, satu dua
anak   mulai   datang  membawa  mukena dan buku ngaji
mereka. lalu hari berikutnya dengan dibantu bu Mar yang
 berpromosi  pada   setiap   pembeli   di  warungnya yang
datang  kian  bertambah.  Malahan  ada dua orang pelacur
yang  ikut  belajar   agama. Keduanya merasa perlu untuk
mempelajari  agama   dan mengaji   karena  akan menikah
dan  diboyong oleh bakal suaminya keluar komplek.

Lahan dakwah lain bagi Nur Hidayat ialah menikahi Bu Mar. Hal ini ia lakukan setelah Nur Salim, sahabatnya yang merupakan adik kandung Bu Mar menyarankan hal itu.Mereka melangsungkan pernikahan setelah Nur Hidayat menetapkan hatinya melalui sholat istikharoh. Sebagaimana pada kutipan berikut :
                “Saya    mau    titip    Mbak   Mar   sama Gus Dayat!”
            “Maksud                        Kang                        Salim ?”
            “Saya nggak   mau Mbak Mar jadi zulaiha pada kisah
Nabi   Yusuf.      Saya,     juga      Mbak   Mar sendiri
berkehendak     agar    dia    menjadi layaknya bunda
Siti      Khodijah       dengan   kanjeng Rasulullah….”
Nur Hidayat tercenung. Ia sudah mafhum dengan arah
pembicaraan       Nur Salim.     Salim  diam menunggu
Dayat                 yang              sedang               berfikir.
“Saya   belum bisa    ngasih jawaban sekarang, Kang !
Kasih saya waktu tiga hari untuk istikharoh….”
        
           BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.Simpulan
Berdasarkan analisis data pada bab IV dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh novelette Yang Hidup di Pinggiran  penuh dengan kandungan religiusitas. Religiusitas yang didapat melalui perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Perjalanan hidup tokoh-tokoh seperti Susi, Bu mar dan Ustad Nur Hidayat dapat memberikan bahan perenungan bagi kita semua, bahwa hidup manusia sesungguhnya tidak akan pernah lepas dari tali hubungan yang mengikatnya dengan sang pencipta.
Karena cobaan hidup yang terus menerus menderanya, Susi hampir saja memutus tali hubungannya dengan Tuhannya. Namun, sedikit saja ia melangkah mendekatiNya, Tuhan segera menyambut kedatangannya dengan sukacita.
Demikian pula dengan Bu Mar, kekejaman dan dosa menjual anak kandungnya sebagi pelacur, lalu membunuhnya melalui proses aborsi oleh dukun beranak cukup membuatnya merasa malu menghadap Tuhannya. Namun, tidak ada kata terlambat untuk memohon ampunan Yang Maha Kuasa. Bu mar membuktikan, tidak akan merugi dan menyesal orang yang kembali ke JalanNya.
  Ustad Nur Hidayat, memilih jalan sendiri untuk memaknai religiusitasnya. Namun situasi kemudian mempertemukannya dengan Bu Mar dan Susi. Seiring perjalanan sang waktu, akhirnya ia mendapatkan makna baru bagi religiusitasnya.
 
5.2.Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan hal-hal berikut :
1.      Novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman cukup menghibur sebagai bacaan. Selain itu tokoh-tokohnya memberikan renungan tentang religiusitas.
2.      Hasil penelitian ini kira dapat menjadi bahan pembanding atau masukan bagi mahasiswa yang hendak meneliti hal yang berkaitan
3.      dalam penelitian ini sekiranya masih ada hal-hal yang belum terjamah atau membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam, maka dapatlah diadakan penelitian lebih lanjut

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, HM. 1995. Menguak  Misteri Ajaran Agama-agama Besar
Darajat, Zakiah. 1989. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa
Gazalba, Sidi.1985.  Asas Ajaran Islam
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra, Abdul Hadi WM dan Orientasi Penciptaan.
           Esai  di harian Republika dikutip dari blue4gie.com tanggal 28 Juni 2008

Kelaramita. 2009. Nilai moral dalam novel Wanita Berkalung Sorban Karya Abidah  
           El Khalieqy. Skripsi S1 ( belum diterbitkan ), FKIP Universitas Sriwijaya.

Siswanto, wahyudi.2008. Pengantar Teori sastra. Jakarta: Grasindo

Sudjana, Nana. 1999. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung : Sinar Baru 
          Algesindo.
 
Suharianto. 1982. Apresiasi Karya Puisi. Bandung : Remadja Karya.
Suharyanto dkk. 1991. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa
          Daerah Jawa Timur II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Surakhmad, Winarno. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito.
Suyitno. 2009. Kritik Sastra. Surakarta: uiversitas Sebelas Maret.
Wijoto, Ribut. 2001. Tidak ada Sastra Religius. Esai di humor@indopubs.com
           di akses pada tanggal 17 November 2001