DeJa VU

De Ja Vu

Pulang kerja kesorean, terdengar tidak menyenangkan. Tapi, berada dalam bis yang melaju tenang, meninggalkan sore di Prabumulih dan menyongsong rembang malam di Palembang, saya merasakan ketenangan yang agak sulit dijelaskan. Semua yang terlihat di luar seakan menyiratkan makna sendiri dan semua itu, entah mengapa terasa indah dan sedikit mengharukan.
Hari ini (11/10/10) Setidaknya ada empat kecelakaan lalulintas sepanjang jalur Prabumulih Palembang. Dump truk batu bara, mobil tangki pengangkut minyak sawit, mobil box dan pengendara sepeda motor menjadi pemeran dalam empat kejadian itu. Setidaknya seorang kehilangan nyawanya. Berada di jalanan di Indonesia, resiko mengalami celaka bahkan kehilangan nyawa. Kata Indonesia ditambahkan, karena menurut teman yang pernah melanglang buana, jalan-jalan di luar negeri bagus mulus.
Saya sendiri, hanya dapat membandingkan jalan di Sumsel (khusunya Palembang) dengan dengan di provinsi tetangga misalnya Jambi, Padang dan Bengkulu. Dari empat provinsi ini, maaf mudah-mudahan saya salah karena kurang lengkapnya hasil pengamatan, sumsel paling jelek jalan-jalannya. Jalan berlubang, kotor, berdebu. Belum lagi ukuran badan jalan yang kurang lebar dan kebanyakan justru menyempit karena di kurang perawatan dan alih fungsi yang tidak pada tempatnya. Saya membayangkan betapa sulitnya besok kiamat para pejabat yang terkait menjawab pernyataan malaikat yang bertugas sebagai jaksa seputar buruknya jalanan di Indonesia (bukan rahasia lagi bahwa dana pembangunan negara kita sebgian (besar) jadi nasi bancakan untuk pemegang kekuasaan)
Tapi sore ini, ditengah semburat sore yang indah dalam perjalanan Prabumulih Palembang, saya bermimpi suatu hari tidak perlu lagi merasakan pegal setengah mati setelah malam usai menempuh 210 kilometer jalan yang menyedihkan. Saya berkhayal, jalan-jalan di sumatera selatan, bahkan semua jalan di Indonesia semulus muka jalan di luar negeri seperti yang saya tonton di TV.