Kamis, 08 Oktober 2009

Kutukan itu telah saya patahkan

8 oktober 2009. hari kamis ini saya berhasil menyelesaikan kuliah sarjana saya. setelah sebelas tahun mandeg di diploma III. Lega. Karena bagi saya, gelar sarjana strata satu ini, bukan menjadi kebanggaan, tapi adalah tanda bahwa saya telah mematahkan semacam kutukan pribadi, bahwa saya tidak akan mencapai gelar sarjana.

Kamis, 01 Oktober 2009

Bantal Nek Miah
. Cerpen : Tinus Kayoman
Selain udara pertengahan bulan puasa yang panas menyengat, sepiring nasi Ampera dan segelas es teh manislah yang membuat keringat Miun kian menderas di leher dan keningnya. Keringat yang sama membuat baju kemejanya yang lusuh semakin kuyu. Tapi Miun tak peduli. Sama dengan pengunjung lainnya yang semuanya asyik makan minum tanpa peduli orang di luar banyak yang terpucat-pucat dengan ludah mengental menahan haus dan lapar. Malahan sekarang Miun asyik menikmati asap 234 yang keluar masuk paru-parunya.
“Ampun …, cari duit kian susah…! Habisnya gampang !”
Seorang pengunjung yang baru masuk mengeluh sambil menghenyakkan pantatnya di bangku. Dari handuk kumal yang melilit lehernya dapat ditebak, pasti seorang tukang becak
“Ambil BLT pak ?!”
Tukang warung bertanya sambil menunggu pesanan si tukang becak itu.
“Sudah kemarin ! malahan sudah habis buat bayar utang sama beli baju lebaran anak-anak….. Sekarang coba-coba ke sini lagi, siapa tahu dapat rejeki…!”
“Mau jadi calo BLT ya…?!”
“maunya sih…, tapi susah kalau tidak ada orang dalam ! Apalagi petugas berkeliaran. Salah-salah, penjara menunggu….”
Tukang becak itu meneguk air putihnya dengan penuh kesal, seperti meneguk duri saja layaknya. Miun pura-pura tidak mengikuti percakapan singkat itu. Tapi, tak terasa, tangannya meraba bagian dalam bajunya. Bungkusan itu masih berada di sana. Hati Miun senang. Sudah dua kali ini berhasil. Berpuluh-puluh kupon itu sekarang sudah berubah menjadi lembaran-lembaran uang.
***

“Miun ?”
Kades mengulangi kata yang diucapkan Sekdes.
“Iya Pak, Si Miun…!”
Sekdes kembali mengulangi usulannya tadi dengan tegas dan mantap. Kades diam sejenak. Ia tengah menimbang dengan seksama usulan anak buahnya itu. Untung rugi, kemungkinan berhasil dan gagal. Jumlah persen yang harus mereka bagi dan cukupkah Miun sebagai kambing hitam jika masalah ini menjadi sorotan. Akhirnya kepala sang Kades manggut-manggut. Wajahnya berubah cerah. Wajah Sekdes langsung ikutan cerah. Bayangan rupiah sudah berputar-putar dalam benak dua aparat jahil ini.
Sejak kecil Miun sudah menyadari kekurangannya. Ia miskin, bodoh dan penakut. Kesadaran yang membuat Miun selalu menghindar bergaul dengan orang yang ia anggap lebih kaya. Miun tahu, jika bergaul dengan orang yang lebih kaya ia pasti berada pada posisi di bawah dan kalah. Miun juga enggan bergaul dengan orang yang menurutnya lebih pintar. Orang pintar, tentu pandai pula membohonginya, demikian pikir Miun. Karena penakut, Miun selalu berusaha berlari lebih cepat dari siapapun. Malahan seiring dengan bertambahnya usia , Miun sadar berlari cepat saja tidak cukup untuk menghindar dari masalah. Ia secara aneh, ia berhasil melatih seluruh inderanya untuk mengendus masalah dan cepat-cepat menjauhinya. Miun merasa, usahanya selama ini cukup berhasil. Ia nyaman dengan cara hidupnya. Persetan orang lain yang memandang dirinya sebagai pemuda tolol yang agak sedeng.
Tapi saat ini, Miun tidak berhasil mengendus masalah itu. Masalah itu sekarang sudah berdiri dengan pongah di depan Miun.
“Jadi, lakukan seperti yang Bapak bilang ya, Miun !”
Sekali lagi Sekdes mewanti-wanti Miun. Miun Cuma mengangguk sambil menunduk Mana berani ia memandang orang kaya, pintar dan terhormat semacam Sekdes ini. Bahkan ketika kemudian ia menyerahkan bungkusan uang yang berhasil ia peroleh dengan menukar kupon-kupon BLT- yang entah bagaimana caranya berhasil dikuasai oleh sang pejabat- tidak sepatahpun kata yang sanggup Miun sampaikan. Malahan Sekdes perlu mengingatkan Miun ketika pemuda tolol itu menyambar begitu saja selembar duapuluhan ribu yang ia sodorkan.
“Bilang apa, Miun ?! Bilang : terimakasih ! Hayo !!”
Suara Miun terdengar berkerokokan. Entah apa yang ia ucapkan. Sekdes juga tidak peduli lagi. Hatinya sudah cukup puas memanipulasi pemuda itu. Sekarang ia asyik menghitung lembaran uang yang diserahkan Miun tadi.
***
Nek Miah sudah bisa senyum sekarang. Sepiring kecil kolak ubi yang agaknya kurang gula, sudah membasahi kerongkongan dan lambungnya yang seharian berpuasa. Sudah lama Nek Miah tidak tersenyum. Sejak ia melahirkan Miun dan Minah, sejak ia melarat setelah sang suami meninggal dunia. Tapi bulan puasa, membuat Nek Miah sering tersenyum. Nek Miah sudah biasa kelaparan. Namun ketika mendengar ustadz berkata laparnya puasa akan diganjar dengan sorga, Nek Miah senyum. Apalagi, di bulan puasa ini, tetangga jadi baik. Nek Miah sering dihantari pembuka puasa. Seperti kolak ubi yang barusan dimakannya. Meski agak kurang gula, cukuplah untuk membuat Nek Miah tersenyum. Mungkin seperti inilah sorga, pikirnya sambil tersenyum. Penghuninya selalu bersedekah di bulan puasa.
Habis berbuka Nek Miah sembahyang Magrib yang langsung ia sambung dengan isya dan tarawih sekaligus. Bukannya ia malas dan enggan berjamaah ke masjid yang hanya beberapa meter saja dari gubuknya, rematik menahun yang membuat Nek Miah susah melangkah. Selesai sembahyang, Nek Miah merapatkan pintu gubuknya dan tidur. Suara bilal dan ustadz ceramah menjadi musik pengantar tidur bagi Nek Miah. Ia tidur sambil tersenyum.
Tidak lama Nek Miah terlelap. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang berteriak di telinganya.
“Bantal…! bantal…!”
“Suara siapa ?”
Batin Nek Miah. Ia berusaha mengenali suara itu. Suara suaminya ? Bukan. Suara minah ? Pasti bukan, anak itu belum bisa bicara ketika meninggal dulu. Suara Miun ? Nek Miah mengangkat kepala sedikit melihat ke amben di pojok sebelah sana. Kosong. Muin belum pulang. Malahan sudah dua hari ini Miun tidak pulang. Nek Miah mencoba kembali tidur. Ditepuk-tepuknya sedikit bantal yang ia pakai. Bau tengik yang tajam menyeruak ke lubang hidungnya. Nek Miah senyum sebelum kembali memejamkan mata. Lagi-lagi teriakan itu memasuki liang telinga Nek Miah.
“Bantal…! Bantal…!”
Kali Nek Miah tak ambil peduli lagi. Ia terus saja dengan tidurnya.
***
Sekdes mengkeret melihat mata Kades yang melotot seperti ikan mas koki.
“Pokoknya saya tidak mau tahu !”
Sekdes terloncat mendengar bentakan itu.
“Kamu harus dapatkan kembali uang itu ! cari si Miun, tangkap ! goblok banget, masak sama pemuda sedeng saja kalah !?”
Meski dongkol dimaki-maki, Sekdes diam saja. Resiko jadi bawahan yang merangkap penjilat, harus siap dimaki-maki.
“sewa preman, polisi, pengacara atau pembunuh bayaran sekalian ! berani sekali Miun melarikan uang saya !!”
“Uang saya juga, Bos !”
Dalam hati, Sekdes meralat ucapan sang majikan. Di luaran, dengan tegas ia menyambut perintah sang Bos.
“Siap, Pak ! Pokoknya Bapak tunggu laporan dari saya, persoalan ini pasti saya bereskan !”
***
Miun paling takut dengan masalah. Jika mengendus masalah, ia akan berlari kencang menjauh. Tapi, sekarang ia tidak dapat berlari menjauh karena masalah itu ada di kantong baju kaos dalamnya. Kaos dalam ini hasil modifikasi Miun. Berasal dari kaos pilkada yang dibuat model oblong dengan kantung yang dilapisi plastik tebal sehingga kedap air. Ada enampuluhempat kupon. Kalikan tigaratusribu rupiah. Setelah dipotong komisi orang dalam limaratusribu rupiah dan dipecahkannya untuk makan limapuluhribu rupiah, sejumlah itulah yang sekarang tersimpan di kantong rahasia Miun.
“Uang siapa ini ?”
Miun membatin.
“Uang Sekdes ? Kades ? Atau uang Emak, uangnya dan uang banyak orang miskin lain yang kena tipu dua pejabat itu ?”
Miun pusing memikirkan hal itu.
Teringat dengan Nek Miah, sudah lama Miun tahu sang Emak jarang tersenyum. Sesekali dibulan puasa ini, ketika berbuka, Miun melihat Emaknya senyum. Miun sendiri jarang sekali puasa, tapi ia rajin menemani Nek Miah berbuka. Bukan karena makanan berbuka yang enak-enak, ia senang melihat senyum Emaknya yang langka.
“Akan tersenyumkah Emak melihat uang sebanyak ini ?”
“Apakah senyum Emak akan seindah ketika ia berbuka puasa ?’
“Atau mengerikan seperti yang ditunjukkan Sekdes ketika menerima uang yang pertama dulu ?”
Teringat senyum Sekdes itu, lambung Miun jadi mual. Perasaan jijik membuatnya ingin muntah.
***
Beginilah laporan preman bayaran Sekdes :
“Miun sudah kami bereskan. Bersih. Tidak akan ada yang curiga dengan kematian seorang pemuda setengah gila yang ditabrak kereta .”
“Tapi, uangnya belum kami temukan. Jadi kami ke rumah Nek Miah. Tidak kami temukan apa-apa di sana. Ketika kami bujuk, si nenek malahan memberikan bantal usang yang dekil dan bau. Hampir saja Nek Miah kami habisin juga. Tapi tidak jadi….”
“Uangnya belum…, tepatnya tidak bisa kami temukan, Bos. Kami nyerah dan minta maaf….”
Sekdes kehabisan akal. Terpaksa tabungannya jadi korban untuk nombok uang itu.
“Untuk mengganti tabungan ini, Lain kali harus lebih pintar cari proyek !”
Sekdes mencanangkan tekad dan berusaha menghibur diri.
***
Ketika melintas dekat gubuk nek Miah, pak Ustadz agak heran melihat sebuah bantal tergeletak di tanah.
“Bantal Nek Miah ? Siapa yang yang kurang kerjaan membuang bantal nenek malang itu ?”
Dipungutnya benda usang yang dekil dan tengik itu.
“Ihh, Abii !? Bantal siapa yang di bawa ?”
Istri Ustadz yang asli Sunda itu memencet hidung melihat suaminya pulang menjinjing bantal .
“Bantal Nek Miah. Tadinya mau Abi kembalikan saja. Tapi, Abi ada ide yang lebih baik.”
Pak Ustadz mengambil cangkul.
“Abi pegang, bantal ini keras sekali. Seperti berisi kertas saja, bukan kapuk , kasihan Nek Miah. Gimana pendapat Umi kalau kita kasih bantal kita yang baru saja. ?!”
“Umi sih setuju saja. Tapi yang itu mau diapain ?”
Si Umi menunjuk ke bantal. Ustadz sudah selesai mencangkul. Hasilnya sebuah lubang.
“Ini…!”
Dengan senyum puas dimasukkannya bantal dekil berisi kertas itu kelubang dan menimbunnya rapat-rapat.
“Enggak dikasih nisan sekalian , Abiii ?!’
Istrinya berseloroh.
“Hush ! becanda ….”
Sorenya, Nek Miah senyum ketika istri Pak Ustadz datang mengantar sepiring kolak dan sebuah bantal baru.
Griya Talang Kelapa, 2009