Selasa, 29 September 2009

Cerpen : Perang !

Perang


Perang ! itu tekad yang dicanangkan Rusli. Parang panjang dan belatinya sudah terasah tajam. Kecepek yang selama ini ia sembunyikan di bawah tempat tidur, sudah pula dibersihkan, diminyaki dan siap diledakkan. Dengan panjang hampir satu setengah meter, senapan itu jadi alat utamanya untuk memenangkan peperangan ini.
Perang ! Itulah yang harus dilakukannya sekarang. Sudah cukup Rusli bersabar. Kian hari, kian bertambah pula gangguan dan kerugian yang ia alami. Kera-kera itu dengan ganas menyerbu ladang. Jagung, ubi, sayuran bahkan padi yang ia tanam mulai pula jadi sasaran gerombolan pengacau itu.
Terbayang dimata Rusli kesulitan yang alami jika ladang itu hancur. Tanpa gangguan saja, ladang itu hanya cukup untuk makan ia sekeluarga. Dengan sedikit sisa untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sederhana.
***
Pagi masih berkabut ketika Rusli menempatkan diri di tempat persembunyian. Embun yang melekat didedaunan mengirimkan hawa dingin ke kulit Peladang muda itu. Dari hasil pengamatannya beberapa hari ini, Rusli tahu kera-kera itu menyerbu saat pagi, bersama naiknya sinar mentari pagi dan ketika tengah hari, setelah sang surya mulai tergelincir.
Tidak lama Rusli menunggu. Bulatan-bulatan hitam legam dengan kaki-kaki kuat dan lincah seperti terpantul dari satu pohon ke pohon lain. Dari pohon terakhir, sebelum terjun ke tanah, gumpalan hitam itu berhenti sejenak, seperti membaca situasi. Pemimpin mereka, dengan tubuh hampir sebesar kambing kacang, berada paling depan. Sedetik setelah sang pemimpin terjun ke tanah, gelombang serbuan merekapun dimulai.
Rusli memperbaiki posisi tembak. Degup jantungnya keras memalu rongga dada. Telunjuknya sedikit gemetar saat menekan picu. Inilah saatnya memulai perang. Korban pertama akan segera jatuh.
***
“Blamm !”
Suara dentuman keras bergema sesaat sebelum akhirnya hilang diserap pohon yang berjajar rapat di muara hutan sana. Jeritan marah, kesakitan dan ketakutan saling meningkah. Jeritan sang pemimpin paling keras. Bahunya terluka parah. Sejenak ia terdiam, ragu-ragu untuk maju menyerbu. Sekilas dilihatnya moncong senjata sang pemburu masih mengincar. Dengan teriakan marah bercampur kesakitan, kera besar ini membalikkan tubuhnya, berlari kencang ke arah hutan, dua tiga lompatan ia sudah hilang di balik dedaunan.
“Blam ! blam ! blam !!”
bertubi-tubi Rusli membidik. Asap sangit berbau mesiu menebal di hadapannya. Rusli maju menyerbu. Gerombolan musuh lari berpencar biar kehilangan komando.
Seekor kera muda terhampar. Cairan merah menggenangi tubuhnya. Tiada gerak, tak ada suara. Rusli berlari melangkahi hewan yang tengah menjemput ajal itu, mengejar kera lain yang berukuran sedang. Kaki kanan belakangnya hancur terkena peluru. Sakit dan takut membuatnya kehilangan daya untuk melompat. Terseok ia mencoba menyuruk ke gerumbulan semak. Rusli sudah berada di belakang kera luka itu, siap membidik. Sedetik lagi kepala kera itu akan kehilangan bentuknya. Kera itu menoleh. Mukanya basah, mungkin oleh embun di semak-semak yang ia terobos.
Hati Rusli tercekat. Telunjuknya urung menarik picu. Dimatanya, terlihat kera itu menangis. Ajaib, bahkan kerapun dapat menangis ketika ajal sudah begitu dekat.
“Tidak perlu aku buang peluru !”
Batin Rusli. Dengan luka separah itu, kecil kemungkinan ia dapat hidup lebih lama lagi.
“Tapi jika tidak diselesaikan sekarang, bukankah aku memperpanjang penderitaannya ?!”
Suara lain dibatinnya membantah. Rusli masih ragu. Tapi tak urung kecepeknya kembali keposisi siap bidik. Tiba-tiba…,
“Aummhh !!”
***
Suara harimau konon mengandung daya magis. Auman raja rimba itu dapat membuat musuh atau mangsanya kehilangan kekuatan untuk melawan dan menyelamatkan diri. Rusli sudah sejak dulu mempercayai cerita itu. Ia mengalaminya sendiri sekarang. Auman dahsyat itu tidak saja membuat Rusli urung membidik. Malahan senapannya nyaris terjatuh karena kuatnya getaran suara tersebut. Namun naluri Rusli melarangnya untuk menyerah. Menyerah berarti nyawanya akan terancam. Jika nyawanya terancam, siapa yang merawat ladangnya ? Siapa pula yang akan menjaga kelangsungan hidup anak istrinya?
Dengan menabahkan hati, secepat kilat Rusli membalikkan tubuh. Waktu sedetik yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Rusli selanjutnya. Dengan posisi senapan siap bidik Rusli masih sempat melihat harimau menerkam dengan deras ke arahnya. Rusli menarik picu senjatanya dengan tubuh sedikit gemetar.
“Blam !!!”
Getaran tubuh itulah yang membuat tembakan Rusli tidak tepat sasaran. Jika saja peladang itu menembak dengan tenang, tak urung harimau akan terkapar dengan lubang diantara kedua matanya. Tapi, siapa pula dapat membidik dengan tenang, saat kematian sudah begitu dekat, saat maut hampir menerkam leher ? Bidikan Rusli melukai bahu kanan harimau itu. Sang raja rimba terhempas oleh hantaman peluru yang menghujam tubuhnya. Dengan cepat binatang buas itu bangkit. Rasa sakit membuat hewan itu kelihatan semakin ganas. Tapi, kali ini ia tidak lagi terburu untuk menerkam. Dengan gaya khas hewan pemburu, ia melakukan gerakan sedikit memutar mengitari Rusli, mencari titik lemah lawan sebelum melancarkan serangan.
Biasanya jarang harimau itu masuk hingga ke wilayah dekat pemukiman manusia. Namun kali ini rasa lapar membuatnya melanggar kebiasaan itu . Bau darah dan jeritan kera-kera tadi, kian membuatnya nekad untuk mendekat ke ladang Rusli. Rasa lapar, yang membuatnya tidak lagi memandang Rusli sebagai musuh dengan senjata yang dapat mencabut nyawanya. Ia butuh makan, butuh daging dan darah. Tak peduli, daging dan darah apa atau siapa.
Rusli sadar, posisinya sekarang sudah berubah. Dari pemburu menjadi yang diburu. Mengikuti gerak sang harimau, Rusli menarik tubuhnya ke belakang. Dua langkah, tubuhnya sudah di sebelah sebatang pohon. Keduanya saling pandang, menakar kesempatan masing-masing. Menunggu kelengahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan mematikan.
Sepuluh limabelas detik saling menunggu, Rusli kian tidak sabar. Lengannya yang menyangga senapan mulai terasa kesemutan. Hal yang ternyata dialami juga oleh sang musuh. Dengan didahului geraman yang mengerikan, raja rimba itu melompat melancarkan serangan. Dalam perhitungannya, dua kali lompatan besar, ia sudah dapat mencapai leher Rusli. Perhitungan yang cocok dengan perhitungan Rusli. Ketika binatang itu mengambil ancangan untuk melompat , Rusli membidik.
“Blam !!”
Lagi-lagi bidikan Rusli kurang akurat. Peluru hanya menyerempet kaki kiri musuh dan memperlambat sang harimau itu sepersekian detik saja. Dengan keganasan yang kian bertambah ia kembali melompat. Namun Rusli sudah mengambil kesempatan sepersekian detik itu. Dengan lompatan sekuat tenaga Rusli menggapai dahan pohon di sampingnya dan secepat kilat mengangkat tubuhnya. Sudah cukup cepat gerakan Rusli itu. Tapi masih juga terjangan sang harimau menggapainya.
“Huahh..!”
Rusli menjerit. Kuku harimau yang setajam pisau cukur itu mengoyak sepatu bot dan meyayat daging betisnya. Rasa sakit yang luar biasa menyelimuti setiap pori-pori Rusli. Terengah-engah Rusli memeluk erat dahan tempatnya menyelamatkan diri. Dengan terus mengaum marah dan kecewa, harimau itu menunggu sang mangsa yang kini berada di atasnya. Darah dari luka Rusli yang mengucur, tepat membasahi muka si pemangsa. Beringsut, Rusli memperbaiki posisi tubuhnya. Sekarang ia sudah duduk dengan agak nyaman. Luka dibetisnya sudah ia balut dengan kain celana. Di bawah, sang harimau masih menggeram marah.
“Cuhh ! cuhh !”
Rusli meludah. Ketika ludahnya tepat mengenai kepala si raja rimba, dengan penuh kemenangan ia tertawa. Binatang itu tampak semakin marah mendengar tawa yang mengejeknya. Tapi apa mau dikata, sang musuh di atas, tak terjangkau olehnya. Dengan penuh kecewa, hewan itu meninggalkan pohon persembunyian Rusli.
“Akhirnya pergi juga kau…!”
Rusli menggerutu. Luka di kakinya masih berdenyut sakit.
“Hrrrhh….”
Sebuah desahan pendek yang seolah mengiyakan ucapannya membuat Rusli kaget setengah mati..
***
Gugup Rusli menengadah ke atas. Di cabang lain, tepat di atasnya bertengger sumber suara itu. Kera hitam besar dengan luka di bahu. Mereka saling menatap. Sejurus kemudian, dengan gerakan perlahan, kera itu turun ke cabang tempat Rusli berada.
“Hrrhh…, nguk !”
Si Kera menunjuk. Rusli mengikuti arah tunjuk itu. Di sebelah depan sana, jauh di punggung bukit, pohon-pohon bertumbangan. Sayup, suara dengung mesin penebang kayu, terbawa angin ke telinga keduanya.
“Ngukkk …!”
Suara kera besar yang menjadi pimpinan kera-kera lainnya itu terdengar lirih. Tiba-tiba saja, Rusli merasa mengerti maksud perkataan mahluk yang tadi dilukainya ini.
“Tidak ada maksud kami untuk merusak ladangmu. Tapi kami lapar. Lihatlah, hutan kami di punggung bukit itu, sudah habis dijarah. Kamu berladang hanya untuk makan. Kami juga menjarah ladangmu demi mengisi perut kami, anak kami, rakyat kami yang kehilangan hutan. Tapi mereka, orang-orang kota dengan segala mesin itu ?! Itu bukan lapar, itu keserakahan !”
Rusli tercenung. Dilihatnya makin banyak pohon yang tumbang. Dari kejauhan, punggung bukit itu tampak seperti luka borok yang bernanah. Di sebelahnya, sepasang mata hitam bening sedang mengamati semua gerak geraknya. Rusli menoleh. Kembali mereka saling menatap. Sebuah kesadaran baru mendadak menyusupi hati nurani Rusli.
***
Perang ! Ya, perang yang lebih besar ! Tekad itu sudah mantap tercanang di hati Rusli. Senapannya sudah terisi , cadangan mesiu juga ia gantungkan di pinggang. Parangnya juga sudah terasah lebih tajam.
“Masih berperang dengan kera-kera itu, Bang ?!”
Istrinya menegur ketika melihat sang suami hendak berangkat lagi.
“Bukan. Ada musuh lain….”
“Apa Bang, di mana ?!”
“Mahluk yang lebih besar, kejam dan serakah ! Di punggung bukit sana !”
Istri Rusli terlongo. Ia hendak bertanya lagi tapi urung. Dilihatnya sang suami sudah melangkah mantap ke medan perang.
Akhir Maret 09
Tuk sahabat KCM VI, trus berkarya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar