Minggu, 17 Oktober 2010

Dalam periodisasi sastra, Taufik Ismail digolongkan sebagai penyair angkatan 66. Sebuah angkatan yang lahir dari pergolakan politik antara golongan yang disebut dengan orde lama dan melahirkan golongan baru yang dinamai orde baru. Seiring perjalanan sang waktu, Taufik Ismail tak pelak lagi merupakan salah satu penyair senior yang terpenting saat ini. Hal ini, semakin terasa, setelah penyair senior lainnya semacam WS Rendra dan Hamid Jabbar meninggal dunia. Istilah senior ini dipakai untuk menggambarkan jalan panjang kreatifitas yang beliau tekuni sejak era tahun 60-an.

Perjalanan kreatifitas Taufik Ismail dalam pandangan Puja Sutejo (2009) digambarkan sebagai berikut :
…sebagai penyair protes awalnya, Taufik berujung pada puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisan Taufik pada awalnya digerakkan oleh (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan dan (b) bagaimana keprihatinannya alir ketika melihat kepincangan sosial di awal persalinan Orde Baru yang pucuknya adalah politik kesenian Manikebu.
Jika ditelusur hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak pada (a) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realita bangsa yang mengerikan, (b) keprihatan realita baca tulis yang naif di dunia pendidikan, dan (c) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif melalui gerakan baca dan cipta sastra baik di kalangan guru maupun siswa. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan akan pentingnya pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih dari itu, kemudian bagaimana pentingnya tumbuhnya kesadaran generasi, etos, dan pentingnya empati kemanusiaan….


Salah kumpulan puisi Taufik Ismail yaitu Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit 2003. Puisi-puisi dalam MAJOI rata-rata ditulis dalam kurun waktu Mei – November 1998 dan terkait dengan peristiwa Lengsernya Rejim Soeharto dan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Meskipun, seperti kumpulan puisi Beliau sebelumnya (misalnya Tirani dan Benteng), MAJOI berupa puisi-puisi snapshot atau puisi-puisi famlet yang mudah dipahami, namun tidak membuat berkurangnya unsur keindahan dan daya tarik yang dikandung oleh puisi-puisi dalam kumpulan tersebut. Keindahan dan daya tarik yang membuat kumpulan ini banyak dijadikan sebagai bahan penelitian. Misalnya Eko Sri Israhayu (2007) yang melakukan telaah historis, estetis dan sosiologis puisi-puisi dalam kumpulan puisi MAJOI sebagai tesis di Universitas Diponegoro.
Meskipun dibuat sebagai hasil pantauan dan perenungan penulisnya terhadap peristiwa tahun 1998 namun makna-makna yang terkandung dalam puisi-puisi itu tidak kehilangan relevansinya hingga sekarang. Misalnya carut marut penegakan hukum kita saat ini dapat dicari jejaknya pada kutipan berikut :
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
(dari puisi MAJOI)

Atau kutipan yang menyoroti tingginya angka pengangguran dan kemiskinan berikut ini :
Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka
(dari puisi Seratus Juta)

Hal yang sesungguhnya menyedihkan. Karena setelah 12 tahun reformasi digulirkan, bangsa dan Negara Indonesia belum juga berhasil tinggal landas menuju kemajuan dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama, bahkan sejak kita menyatakan kemerdekaan lebih dari 65 tahun yang lalu. Daya tarik estetika dan relevansinya dengan kehidupan bangsa dan Negara saat inilah yang mendorong penulis untuk membahas puisi-puisi dalam kumpulan puisi MAJOI tersebut.



2. PERMASALAHAN
2.1. Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah bagaimana menguraikan nilai estetis puisi-puisi Karya Taufik Ismail dalam kumpulan puisi MAJOI dengan menggunakan kajian Stilitika.
2.2. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada beberapa puisi dari kumpulan puisi MAJOI yaitu : “Takut 66, Takut 98” dan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Pemilihan 2 (dua) buah puisi ini semata-mata karena kerterbatasan penulis untuk membahas semua puisi yang ada dalam kumpulan yang menghimpun sekitar seratus puisi tersebut, bukan karena alasan estetis atau lainnya.

3. PEMBAHASAN MASALAH
3.1. Sekilas Tentang Kajian Stilistika
Kata Stilistika berasal dari bahasa Inggris, stylistics yang diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi stilistika. Akar kata stylistics berasal dari kata dalam bahasa Latin, stilus. Kata ini dalam makna harfiahnya berarti alat (yang ujungnya tajam) yang digunakan untuk menulis lembaran-lembaran. Namun pada perkembangannya kemudian, kata ini memiliki arti khusus tentang penulisan; kritik terhadap kualitas sebuah tulisan (lihat Nurhayati, 2008)
Para ahli memberikan beberapa pengertian kajian Stilistika. Menurut Sudjiman(1984:71) Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Keris Mas (1988:3) mengatakan bahwa Stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra.Sedangkan Nurhayati (2008:10) sependapat dengan pernyataan Leech dan Michael Short Stilistics,…the study of the relation between linguistic form and literary function. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra.
3.2. Metode Kajian
Metode kajian yang digunakan dalam makalah ini ialah metode deskriptif dengan data yang bersifat kualitatif. Sugiyono (2008:23) menyatakan bahwa data kualitatif adalah data yang berupa kalimat, kata atau gambar. Dalam makalah ini, data tersebut adalah puisi-puisi dari kumpulan puisi Majoi karya Taufik Ismail. Farkhan (2007:12) menuliskan bahwa penelitian kualitataif adalah penelitian yang mengandalkan data verbal dan non numerik. Nurhayati(2008:45) menyatakan kajian ini bertujuan mencandrakan secara sistematis fakta-fakta tertentu. Fakta tersebut dalam hal ini adalah puisi Taufik Ismail.
Unsur-unsur pada puisi yang dianalisis dalam makalah ini dapat dilihat pada tabel
Unsur-unsur yang dianalisis
Kajian Stilistika Struktur Batin
1. perimaan
2. linguistik
3. diksi
4. citraan
5. kata-kata konkret
6. bahasa figuratif 1. tema
2. perasaan
3. nada
4. amanat

3.3. Kajian Terhadap Puisi-puisi Dalam kumpulan Puisi MAJOI
3.3.1 Kajian Puisi Takut ’66, Takut ‘98
3.3.1.1 Takut ’66, Takut ‘98
Puisi “Takut 66, Takut 98” merupakan puisi Taufiq Ismail yang cukup pendek dalam MAJOI. Sebab, dibandingkan dengan puisi-puisi Taufiq yang lain, yang rata-rata ditulis dengan gaya prosais, maka puisi “Takut 66, Takut 98” hanya ditulis dalam 6 larik pendek. Kendati hanya ditulis dalam 6 larik pendek, interpretasi atas puisi ini dapat lebih panjang dari puisi-puisi prosais Taufiq lainnya yang terdapat dalam MAJOI. Puisi “Takut 66, Takut 98” yang hanya 6 larik sesungguhnya memuat subject matter yang demikian dalam. Perhatikan kutipan berikut.
Takut ’66, Takut ‘98
1. Mahasiswa takut pada dosen
2. Dosen takut pada dekan
3. Dekan takut pada rektor
4. Rektor takut pada menteri
5. Menteri takut pada presiden
6. Presiden takut pada mahasiswa.
(MAJOI, hal. 3)


3.3.1.2 Mesodiplosis dan Paradoks sebagai Kekuatan Estetik
Pada bagian awal analisis puisi “Takut ’66, Takut ‘98” telah disinggung bahwa puisi ini
merupakan puisi yang cukup pendek dalam MAJOI, dibandingkan dengan puisi-puisi Taufiq lainnya yang rata-rata cukup panjang. Sesuai dengan pengakuan Taufiq pada bagian Kata Penutup, bahwa untuk melengkapi kehadiran puisinya yang menggunakan gaya berkabar, ia senantiasa mencari eufoni. Yang dimaksud dengan eufoni menurut Sudjiman (1984: 30) rangkaian bunyi yang harmonis dan enak didengar dalam puisi. Lawan dari eufoni adalah kakofoni, yaitu rangkaian bunyi yang tidak harmonis yang sengaja digunakan dalam puisi untuk mencapai efek artistik atau menggoda perhatian pembaca.
Ismail (2005:202-206) menerangkan bahwa dalam puisi yang ditulisnya ia senantiasa mencari eufoni. Eufoni dicari untuk menimbulkan kesedapan bunyi melalui kata-kata yang mengalir lancar dan enak didengar telinga. Eufoni merupakan pintu musikalitas bermakna. Untuk membuat eufoni dalam puisi dituntut kemampuan penyair dalam mengorganisasi bunyi. Eufoni tidak hanya merupakan pilihan bunyi, tetapi juga berupa penyusunan bunyi. Menurut Taufiq, repetisi bunyi yang sama atau mirip, penting sekali. Taufiq secara sadar menggunakan teknik tersebut. Menurut Fananie (2001: 30-31) repetisi merupakan teknik yang menduduki
frekuensi paling tinggi dalam dunia penulisan puisi. Mengapa penyair melakukan hal demikian? Sebab, dengan pengunaan gaya repetisi dimaksudkan untuk mengintensitaskan makna.
Demikian halnya pada puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, cukup jelas Taufiq melakukan mesodiplosis untuk mencapai eufoni. Mesodiplosis adalah salah satu jenis teknik repetisi yang berupa perulangan kata di tengah kalimat. Simak mesodiplosis yang digunakan Taufiq pada larik-larik berikut.
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
(MAJOI, hal. 3)
Kata “takut” yang diulang-ulang Taufiq dalam puisi pendek di atas, bukan berarti Taufiq tidak mempunyai pengetahuan kosa kata yang memadai. Teknik yang dilakukan Taufiq tersebut adalah bentuk penggunaan mesodiplosis yang secara sengaja dilakukan olehnya untuk memberi aksentuasi pada karya yang ia tulis. Dengan menggunakan teknik di atas, menjadikan puisi pendek Taufiq dalam MAJOI tersebut mempunyai kekuatan tersendiri.
Dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, Taufiq tidak hanya menggunakan gaya bahasa mesodiplosis tetapi ia mengunakan pula gaya bahasa paradoks. Disebut paradoks, karena pernyataan penyair: “Presiden takut pada mahasiswa” pada larik akhir, merupakan kontradiksi dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Semestinya, Presiden tidak takut dengan mahasiswa, tetapi takut pada pihak lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi darinya, misalnya takut kepada Tuhan atau takut kepada Ketua MPR. Bukankah larik-larik sebelumnya menggambarkan ketakutan dari satu pihak pada pihak lain yang lebih tinggi derajadnya? “Mahasiswa takut pada dosen/ Dosen takut pada dekan/ Dekan takut pada rektor/ Rektor takut pada menteri/ Menteri takut pada presiden/” Mengapa di larik akhir Taufiq menyatakan “Presiden takut pada mahasiswa?”
Penggunaan mesodiplosis sekaligus paradoks dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, merupakan gaya pengucapan Taufiq yang cukup menarik. Puisi ini tidak hanya memiliki kekuatan dari segi tema, tetapi cukup matang pula dari segi penggunaan bahasa. Kedua teknik pengucapan yang ditempuh Taufiq, yakni mesodiplosis dan paradoks dalam puisi “Takut ’66, Takut ‘98”, mengindikasikan bahwa puisi tersebut ditulis oleh penyair yang cukup piawai dalam mengorganisasi bunyi. Kedua teknik yang dilakukan Taufiq semakin membuat puisi “Takut ’66, Takut ‘98” menjadi demikian konsentratif dan aksentuatif.

3.3.2 Kajian Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
3.3.2.1 Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Sesuai dengan judul yang dibuat penyair, maka dalam puisi ini tergambar perasaan aku lirik yang merasa malu menjadi manusia Indonesia. Mengapa aku lirik merasa malu menjadi manusia Indonesia? Sebab aku lirik merasa, kebanggaannya menjadi manusia Indonesia seperti yang dialaminya pada tahun 1956, kini telah habis terkikis. Aku lirik tak dapat membanggakan negerinya kini karena merasa begitu banyak kecurangan, keganjilan yang telah mendominasi sebagian besar kehidupan berbangsa. Jika dicermati secara seksama larik demi larik yang terdapat pada puisi “MAJOI”, barangkali dapat dipahami perasaan malu yang dialami aku lirik. Berikut kutipan sebagian puisi yang dimaksud.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utamanya
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi orang Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph. D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U. S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

(MAJOI, hal. 19)
3.3.2.2 Kritik terhadap Negeri yang Carut Marut
Jika membaca larik demi larik yang terdapat pada bait 1, 2, dan 3 puisi “MAJOI”, maka dapat ditangkap feeling yang ditunjukkan yakni adanya rasa bangga menjadi manusia Indonesia. Dengan menggunakan aku lirik, penyair mengisahkan dirinya yang merasa bangga menjadi orang Indonesia seperti dapat dicermati pada larik-larik berikut.
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utamanya
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi orang Indonesia
(MAJOI, hal. 19)
“Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia” (larik akhir bait 1), dan “Dadaku busung jadi orang Indonesia” (larik akhir bait 3) adalah cerminan rasa bangga yang dialami aku lirik pada sekitar tahun 1956. Citraan/ gambaran suasana yang terdapat pada bait pertama, kedua, dan ketiga puisi di atas jika dibandingkan dengan citraan yang terdapat pada bait-bait berikutnya, akan terasa adanya suasana yang kontradiktif yang dialami aku lirik. Suasana kontradiktif yang dialami aku lirik merupakan cermin kegelisahan historis. Aku lirik yang semula sebagai pribadi yang optimis tiba-tiba berubah menjadi inferior. Hal ini dapat dilihat pada larik-larik yang dicetak tebal seperti tampak pada kutipan berikut.
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph. D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U. S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
(MAJOI, hal. 19)
Tentu ada penyebab yang membuat aku lirik “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri”,
yakni karena adanya rasa bangga sebagai “anak revolusi Indonesia“ dan memiliki pahlawan yang gagah berani seperti Bung Tomo. Kebanggaan yang disimbolkan dengan “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri”, tiba-tiba mengalami hal yang kontradiktif sehingga aku lirik pun kemudian mempertanyakannya dengan: “Mengapa sering benar aku merunduk kini”. Tentu perubahan sikap aku lirik yang tercermin pada larik 4 dan 5 bait keempat puisi “MAJOI”, bukanlah perubahan yang tiba-tiba. Pada larik-larik dan bait selanjutnya dapat diketahui hal yang menyebabkan aku lirik berubah sikap dari optimismenjadi pesimis atau inferior.
Penyebab perubahan sikap aku lirik adalah tampaknya tidak saja disebabkan adanya kegelisahan historis tetapi tergambar juga adanya kegelisahan sosiologis. “Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak”, adalah larik-larik yang menunjukkan adanya kegelisahan sosiologis aku lirik. Secara logika, sebuah negara hukum mestinya memiliki pilar hukum yang kuat, tetapi hal ini tampaknya tidak ditemui aku lirik. Hal ini dapat dicermati pada ungkapan Taufiq dalam larik-larik berikut.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
Curang susah dicari tandingan,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk
Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz, Iran dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan
sebagai saksi terang-terangan,

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(MAJOI, hal. 21)
Larik-larik yang dicetak tebal pada kutipan di atas adalah gambaran kasus-kasus kelemahan hukum di Indonesia. Sudah tentu kasus-kasus tersebut membuat stigma negatip bagi negeri Indonesia, sehingga menyebabkan aku lirik dalam puisi di atas menjadi inferior untuk mengaku sebagai orang Indonesia. Kendati demikian, rasa inferior tersebut bukanlah gambaran adanya krisis nasionalisme yang dimiliki aku lirik. “Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/ Dan kubenamkan topi baret di kepala/ Malu aku jadi orang Indonesia.”, sebenarnya merupakan kritik atas situasi negeri yang carut marut. Penyair melalui larik-larik tersebut hendak menyampaikan feeling-nya, bahwa ia cukup prihatin atas realitas sosial yang ada.
Ia melihat, rasa malu yang dimiliki orang Indonesia mulai menipis bahkan banyak yang sudah kehabisan stok rasa malu, sehingga melakukan perbuatan-perbuatan curang. Jika dahulu orang masih berpikir beberapa kali untuk melakukan kecurangan atau perbuatan yang melanggar hukum, maka kini karena didorong oleh ambisi pribadinya yang lebih besar, orang dengan tenang atau tanpa rasa bersalah sering melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Begitu banyak perbuatan melanggar hukum yang sudah tidak malu-malu lagi dilakukan orang, sehingga penyair merasa kesulitan menemukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Ia pun dengan
gundah mengungkapkan tentang hal tersebut melalui larik-larik: “Di negeriku budi pekerti
mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam / kehidupan ssehari-hari sebagai jarum hilang
menyelam di / tumpukan jerami selepas menuai padi.”

3.2.2 Bunyi sebagai Kekuatan Puisi Prosais
Pradopo (1993:22) mengemukakan bahwa bunyi di dalam puisi bersifat estetis. Bunyi merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi dalam puisi di samping hiasan juga mempunyai tugas yang cukup penting yakni untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan, dan menimbulkan suasana yang khusus. Fungsi bunyi seperti dikemukakan Pradopo di atas tampaknya disadari benar oleh Taufiq Ismail. Oleh karena itu, hampir sebagian besar karya yang ditulisnya selalu mempertimbangkan kemerduan dan keharmonisan bunyi (eufoni). Hal ini pula yang menyebabkan Taufiq Ismail senantiasa mempertimbangkan secara matang setiap pilihan kata yang digunakan dalam rangka memperoleh bunyi-bunyi yang indah. Kesadaran akan hal tersebut membuat Taufiq tidak secara gegabah dalam mengekspresikan karyanya, sehingga pada puisi corak diaphan yang ditulisnya, puisi Taufiq tetap indah untuk dinikmati.
Pada bagian Kata Penutup MAJOI, Taufik (Ismail, 2005: 201) mengemukakan prinsipnya sehubungan dengan pilihan kata dalam proses kreatifnya menulis puisi. Ia tidak sepaham dengan pendapat yang menyatakan bahwa untuk menulis puisi harus menggunakan kata-kata yang padat, atau harus sedikit kata-kata. Daripada hendak memenuhi syarat padat dan minimum kata, tetapi kata-kata yang digunakan tidak indah serta gagap berkomunikasi, Taufiq lebih memilih membuat puisi yang banyak kata tapi cantik dan menyentuh perasaan. Bagi Taufiq, puisi wajib musikal, kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata sedap tersebut telah diseleksi secara ketat terlebih dahulu.
Puisi ini terdiri dari 89 larik yang dibagi menjadi 22 bait. Puisi yang sumber inspirasinya berasal dari situasi sosial ini diekspresikan penyairnya dengan diksi puitis dan rima yang cukup diperhitungkan. Sama halnya dengan puisi-puisi Taufiq yang telah dianalisis terdahulu, yang mengutamakan adanya eufoni, demikian halnya dengan puisi “MAJOI”. Puisi prosais ini ditulis Taufiq dengan mempertimbangkan unsur bunyi sebagai sarana kepuitisan untuk mencapai nilai estetis. Penyair menempuh sejumlah cara sehubungan dengan pemilihan bunyi-bunyi untuk menimbulkan kepuitisan. Cara yang ditempuh misalnya dengan menciptakan rima depan, rima rangkai, dan kakofoni.
Pada bait 1 – 4, Taufiq Ismail menggunakan rima rangkai. Rima rangkai yang diciptakan penyair pada bait-bait tersebut berupa perulangan bunyi-bunyi vocal pada setiap akhir larik. Perulangan bunyi pada bait 1 – 4, sebagian besar berupa perulangan bunyi vokal “a” (terdapat pada bait 1 – 3 ), jika dihubungkan dengan rasa yang timbul dari pembacaan atas bait-bait tersebut maka perulangan bunyi tersebut melambangkan rasa riang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjahjono (1988: 57) yang menyatakan bahwa eufoni merupakan bentuk perulangan bunyi yang cerah, biasanya ditunjukkan dengan perulangan bunyi vocal: a, i, dan e. Kebalikan eufoni adalah kakofoni, yaitu perulangan bunyi yang menimbulkan suasana ketertekanan batin, berat, mengerikan, kebekuan, kesunyian, ataupun kesedihan. Kakofoni biasanya dibentuk oleh vokal o, u atau diftong au. Bahkan kakofoni kadang dibentuk oleh konsonan.
Dalam memperoleh efek puitis pada puisi “MAJOI” selain menggunakan eufoni, Taufiq Ismail menggunakan pula sarana estetika yang lain, yakni: kakofoni, rima depan dan rima rangkai. Kutipan bait berikut adalah contoh adanya kakofoni, rima depan dan rima rangkai yang digunakan penyair secara bersama-sama untuk memperoleh efek puitis.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahril dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(MAJOI, hal. 19)
Adanya perulangan bunyi konsonan “k” pada larik 1 – 3 merupakan bentuk kakofoni yang diciptakan penyair agar diperoleh efek puitis. Kakofoni pada larik tersebut tidak sekadar hiasan puisi sebab kakofoni memberikan citraan/ gambaran suasana keprihatinan aku lirik menyaksikan hukum yang tak tegak di negerinya, bahkan doyong berderak-derak.
Penyair tampaknya, merasa kurang puas jika hanya menggunakan kakofoni sebagai sarana estetika untuk mencapai efek kepuitisan karyanya. Ia juga menggunakan rima depan, sehingga perulangan kata “berjalan” makin mengintensitaskan makna. Rima depan yang ditulis penyair selain membuat puisi memiliki irama, juga turut menyumbang keutuhan bait dan citraan suasana yang ingin digambarkan penyair. Demikian halnya dengan rima rangkai pada larik-larik di atas.
Pada bait 1-5, penyair masih mengandalkan rima rangkai sebagai kekuatan estetis
dari puisinya yang prosais, tetapi setelah bait 5 ternyata penyair menempuh cara lain untuk membuat puisinya tetap menarik. Cara yang dimaksud adalah dengan menggunakan rima depan. Pada bait 6 – 21, penyair mengulang kata “di negeriku” sebanyak 15 kali untuk mengawali setiap bait. Perulangan kata “di negeriku” tersebut tentu bukan karena penyair tidak memiliki pengetahuan kosa kata lain untuk menggantikan kata “di negeriku”. Perulangan kata “di negeriku” tersebut semata-mata karena sang penyair bermaksud hendak mengintensitaskan makna yang terkandung dalam puisinya agar dapat lebih dirasakan pembacanya. Berikut kutipan sebagian rima depan “di negeriku” pada puisi
“MAJOI”.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
Curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu, dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangatsangat-
sangat-sangat-sangat jelas penipuan besarbesaran
tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan
tak putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
Terdapat 15 perulangan “Di
negeriku” dari bait 6 – 21,
sebagai bentuk rima depan.
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk
Bursa Efek Jakarta secara resmi,
(MAJOI, hal. 20-21)
Dalam Kata Penutup MAJOI, Taufiq (Ismail, 2005: 203) mengemukakan pendapatnya bahwa kehadiran puisi dapat menimbulkan dua kenikmatan. Pertama, kenikmatan rohani yakni kenikmatan yang dirasakan seorang penyair setelah berhasil menuliskan sebuah puisi. Kedua, kenikmatan jasmani yakni kenikmatan yang dirasakan penyair setelah membacakan (mementaskan) puisi yang telah ditulis. Penciptaan puisi “MAJOI”, barangkali dimaksudkan penyair tidak sekadar sebagai karya yang dapat memberikan kenikmatan rohani bagi penyairnya, tetapi puisi ini dapat pula memberi kenikmatan jasmani. Seandainya puisi “MAJOI” dibacakan di depan publik, dengan adanya kakofoni, rima depan dan rima rangkai yang secara maksimal dimanfaatkan penyair untuk kepentingan pencapaian efek puitiknya, tentu pembacaan atas puisi ini menjadi menarik.
Dalam pembacaan akan muncul adanya tekanan dinamik, tekanan nada dan tekanan tempo yang cukup apik. Tekanan dinamik berkaitan dengan tekanan pada kata yang dianggap penting atau menjadi inti kalimat dan bait puisi. Tekanan nada berkait dengan tinggi rendah suara yang diekspresikan saat membacakan puisi. Tekanan tempo memiliki kaitan dengan cepat lambatnya pengucapan suku kata atau kata dalam larik-larik puisi.






4. Simpulan
Menyimak puisi-puisi Taufik Ismail dalam kumpulan puisi MAJOI maka kita akan mendapati bahasa Taufik pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis. Dalam gerak dan larik puisinya sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Semacam wisata eksistensialisme di balik berbagai realitas ironis keindonesiaan.
Kekuatan puisi Taufik Ismail tidak hanya terdapat pada pilihan kata, rima dan pencitraan puisi itu sendiri, tapi juga terletak pada muatan puisi-puisinya sebagai dokumen sejarah (setidaknya dalam satu versi yang lebih obyektif). Dokumen masih relevan untuk kita jadikan sebagai bahan masukan pembanding dalam menilai dan mencari jalan keluar terhadap berbagai permasalahan kehidupan bangsa yang belakangan ini kian terasa berat dan melelahkan.












DAFTAR PUSTAKA






Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah sastra. Pabelan, Surakarta : Muhammadiyah University Press

Farkhan, M. 2007. Proporsal Penelitian Bahasa dan Sastra. Jakarta: Cella

Eko Sri Israhayu , 2007. Telaah Historis, Sosiologis dan Estetis Puisi-Puisi Malu (Aku) Jadi
Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail Tesis pada program pascasarjana fakultas sastra
Universitas Diponegoro

Keris Mas 1988. Perbincangan gaya bahasa sastera. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia

Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistik. Palembang : Penerbit Unsri

Pradopo , R.D.1993, Pengkajian Puisi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

PuJa Sutejo 2009Belajar dari Imaji Kepenulisan Taufik Ismail
http://thereogpublishing.blogspot.com/


Sudjiman, P (Ed.) 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta : Gramedia

Sugiyono, 2008. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

Taufik Ismail 2005 kumpulan puisi Majoi

Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia : pengantar teori dan apresiasi. Ende :
Nusa Indah, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar