Jumat, 27 Agustus 2010

cerpen : tiga

Tiga

Cerpen : Nilawaty Rajab
(Prelude)
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Rachel mendadak terbangun. Sepertinya barusan ia mimpi buruk. Gadis itu meringis. Kulit mukanya yang putih pucat menjadi sedikit merah akibat tarikan bibirnya itu. Matanya menerawang, menjelajah seisi ruangan. Hanya warna putih yang ia temui. Warna putih memang kecintaan Rachel. Apalagi warna putih serbuk yang berharga mahal itu. Dengan penuh gairah ia akan membakar warna putih itu, menghisapnya, membawa asap dari serbuk itu menyentak setiap pori, syaraf dan pembuluh darahnya. Warna putih yang sedemikian ia cintai, sampai mengorbankan segala miliknya. Segala apa yang berharga dari diri seorang gadis dengan tinggi 173 cm, berat 48 kg dan wajah ayu seperti ratu kecantikan. Sekarang, apa yang tersisa dari Rachel ? Mimpi Buruk ?
Lagi-lagi gadis itu meringis. Lengannya terasa ngilu. Tentu saja. Jarum suntik yang mengalirkan cairan infus itu sedemikian kejam menusuk lengannya yang kurus dan lemah. Tiba-tiba saja timbul keinginan Rachel untuk mencabut jarum itu infus itu. Ia ingin bebas. Ingin bangkit, berjalan bahkan berlari keluar. Ia ingin lari meninggalkan semua deritanya. Tapi kemana ? selalu saja setelah bebas, pergi dan berlari, ia masih kembali ke sini juga. Hanya ke sini lah tempat kembalinya. Sebuah kamar dengan dominasi warna putih. Ranjang yang keras dan tiang infus yang selalu menghalangi pandangan. Dan derita itu masih saja melekat padanya. Rachel tahu, penyebabnya adalah warna putih itu, serbuk itu. Tapi, ia tak dapat lepas juga. Ia cinta pada warna putih itu. Cinta setengah mati.
Pintu terbuka. Seorang wanita cantik namun mulai dikejar usia masuk. Rambutnya tertata rapi, sama rapinya dengan blazer warna coklat muda yang ia kenakan. Ketika ia duduk disamping ranjang Rachel, gadis itu melihat sejumput uban mulai menghiasi rambut rapi itu. Uban yang mungkin terlalu dini mengusik wanita itu. Tapi tidak juga, uban itu malahan seperti pertanda sang pemilik rambut mulai matang ditempa cobaan .
“Bagaimana harimu gadis cantik ?” wanita itu mengusap lembut pipi Rachel yang tirus
“Seperti yang mama lihat ! baik-baik saja ….”
Mereka berdua tersenyum. Senyum yang hampir serupa. Rachel memang mewarisi kecantikan mamanya. Tapi, dibagian dalam, hati keduanya juga teriris. Mana ada yang baik-baik saja. Dalam satu tahun ini, kata ulang itu, hampir hilang dari kamus hidup Rachel. Tubuh yang indah, gairah hidup yang menyala, kegembiraan masa muda…, entah ke mana, apa lagi yang tersisa ? Penderitaan itu bahkan dengan kejam merenggut keanggunan dari seorang wanita setengah baya yang dengan keteguhan batu karang mengemudikan bahtera rumah tangga sendirian. Setitik air menuruni pipi Rachel yang tirus lalu menimpa jemari mamanya yang berada di sisi kepala Rachel.
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Mariana terjaga. Barusan ia sempat terlelap. Desing pesawat yang gemerisik sekarang kembali mengisi gendang telinganya. Perasaan tertekan pada bagian perut membuatnya menunduk. Perasaan jijik yang datang tiba-tiba saja membuatnya mual. Ia jijik melihat bagian perutnya yang membuncit. Jijik dengan gerakan-gerakan halus dibalik dinding perutnya. Perasaan jijik yang sudah hampir setengah tahun ini mendera gadis berkerudung itu. Gadis berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu hampir tidak mampu menahan rasa mualnya. Dengan segera, kantong muntah ditangannya menjadi berisi.
Mariana sendiri heran, dalam kondisi perut kosong, masih ada saja sesuatu yang keluar bersama suara menggeram dari kerongkongannya. Tapi Mariana tidak perduli. Bahkan ia berharap semua yang ada diperutnya dapat keluar saat ini juga. Ia benci dengan sesuatu itu. Yang mengingatkan Mariana pada tembok penjara yang dingin. Mengingatkan Mariana pada suara-suara membentak, dengus napas birahi bercampur kebencian, teriakan marah dan kejam. Tapi harapan Mariana sia-sia. Sesuatu itu dengan tanpa perasaan tetap saja mercokol di perutnya. Bahkan, seiring putaran masa, ia semakin membuat perut Mariana kian membuncit.
Pesawat menurun. Suara yang keluar dari corong mengumumkan kedatangan mereka di Jakarta. Tubuh Mariana masih lemas. Perlahan ia bangkit. Mengikuti arus penumpang lain yang keluar. Di luar, hawa panas menyeruak. Seorang lelaki berseragam menghampiri Mariana.
“Ibu Mariana ?”
Mariana mengangguk lemah.
“silahkan Bu, ikut saya….”
Ramah sekali lelaki berseragam itu menggiring Mariana ke sebuah ruangan. Ruangan sempit dengan beberapa orang berseragam. Meski mereka mencoba menampakkan raut wajah ramah, tapi Mariana dapat merasakan udara dalam ruangan itu sama sekali tidak bersahabat.
“Ibu maaf, paspor ibu kami tahan…”
Mariana diam. Seakan kalimat itu bukan ditujukan pada dirinya. Petugas itu terpaku, agak ragu. Sempat saling lirik dengan temannya. Temannya yang berada di belakang Mariana memberi kode telapak tangan di kening, petugas yang menghadapi Mariana nyengir dan menyita paspor gadis itu. Mariana masih diam ketika keluar dari kantor itu, seorang bertampang sangar segera menaikkan Mariana ke minibus yang sudah menunggu. Gadis hamil tua itu hanya diam ketika barang-barang bawaannya dijarah dan ia di turunkan di tengah jalan yang tidak ia kenal. Hanya satu kalimat yang sempat ia keluarkan sebelum orang itu dengan kasar mendorongnya dari mobil,
“Mengapa tidak kalian renggut barang dalam perutku ini…, mengapa tidak sekalian kamu ambil nyawaku…!”
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Penderitaan !
Penderitaan bagi Muhammad Sutaryo adalah nama tengah. Penderitaan apalagi yang belum dirasakan oleh pemuda yang dipanggil Sutar ini. Ia lahir dekat gunungan sampah Bantar Gebang. Sampai tamat SMP, orangtuanya belum punya KTP dan Kartu Keluarga. Ia sendiri tidak punya akte kelahiran. Tapi Sutar tidak menangis. Ia malahan sudah lupa, bagaimana menangis. Kepahitan baginya semacam jamu saja. Tambah pahit, semakin sehat badan. Apalagi Sutar juga rajin bekerja. Sebut saja pekerjaan kasar yang ada. Hampir semua sudah pernah ia lakoni. Sejalan dengan waktu, pemuda miskin itu menjelma menjadi gatotkaca dari gunungan sampah. Gatotkaca ini yang karena kuasa Allah, selalu rajin sholat dan puasa.
Penderitaan, sesungguhnya adalah hal yang aneh. Dua orang yang mengalami penderitaan yang sama, bias jadi mengeluarkan pendapat yang jauh berbeda. Karena orang Jawa, sejak kecil Sutar mengenal laku tirakat. Penderitaan adalah api yang dapat menghancurkan orang hingga menjadi abu. Tapi api dapat pula menggembleng orang menjadi baja. Penderitaan adalah batu pengasah yang dapat mengubah dan menghilangkan bentuk seseorang. Tapi batu pengasah yang sama dapat menjadikan mutiara kian memancarkan cahayanya. Dan Sutar adalah mutiara.
Adalah Kombespol Wiguna yang melihat mutiara kecil itu berada diantara tukang bangunan yang tengah merenovasi rumahnya. Mutiara hitam dengan mata jernih dan wajah bersih ini, menarik hatinya. Perwira menengah itu tersenyum gembira ketika lewat percakapan ringan, mendapai cita-cita si hitam kecil ini ialah, menjadi polisi ! Empat tahun kemudian, tidak ada yang berubah di wajah dan hati Sutar, kecuali seragam coklat dan satu balok di pundaknya.
(Interlude)
Muhammad Sutaryo, selalu kesekolah dengan baju dekil dan bau nuansa “sampah”. Tidak banyak teman yang ia miliki. Teman dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena kebanyakan temannya selalu mengaitkan keberadaannya dengan sampah, kerja kasar, hitam, miskin dan kata-kata sejenis itu. Ia hanya memiliki dua teman, Mariana dan Rachel. Mariana , gadis yang sama-sama ikut pengajian rohis. Rachel, aktivis gereja yang sering mengulurkan bantuan di lingkungan Sutar. Tapi, keduanya adalah bintang dan bulan bagi pemuda pemalu itu. Ia hanya dapat memendam rasa suka pada keduanya. Sama sekali ia tidak berani, bahkan untuk sekedar mimpi, berdekatan dengan mereka berdua.
Apa yang mampu membuat seseorang sedemikian berubah dalam waktu singkat ? Jawabannya, tanyalah pada Rachel, Mariana atau mungkin Sutar.

Palembang, awal Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar