Sabtu, 28 Agustus 2010

cerpen


Pria, Wanita dan Indralaya
Cerpen : Tinus Kayoman
Apa yang lebih menggembirakan dari perjumpaan ? Apa yang lebih menyedihkan dari perpisahan ? Sayangnya, setiap perjumpaan selalu saja berakhir dengan perpisahan.
1. Gun
Suara ketukan yang keras dan berulang-ulang pada jendela bis membangunkan Lira. Kepalanya yang tadi tersandar di bahuku terangkat. Aku pura-pura masih tertidur ketika Lira menggenggam tanganku.
“Mas, sudah sampai Indralaya, adik harus turun…!”
Tangan Lira sedikit meremas jemariku, berusaha membangunkan aku dengan selembut mungkin. Aku membuka mata. Pandangan kami bertemu. Saat-saat seperti ini, selalu saja perasaan sedih itu datang menyergap. Kenek bis masih saja mengetuk jendela bis sambil berteriak agar penumpang yang hendak turun bergegas dan mengajak calon penumpang baru segera naik. Lira bangkit. Genggaman tangan kami terlepas. Bis kembali melaju. Masih sempat ku lihat Lira mengangkat tangannya, sedikit melambai. Aku membalas dengan menempelkan telapak tanganku di kaca jendela bis.
Perkenalanku dengan Lira terjadi secara kebetulan. Suatu malam, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“Siapa, Pa ?!”
Istriku bertanya sambil mengubah posisi tidurnya. Tampaknya ia terbangun oleh getar ponselku yang terletak dia atas meja.
“Salah kirim….”
Istriku tidak bersuara, tampaknya ia sudah kembali terlelap. Aku yang malahan kesulitan untuk tidur lagi. Ku buka lagi pesan singkat yang kesasar itu.
“Yun, sudah tidur belum?Aku mau curhat nih !”
Kulihat waktu masuknya pesan itu, 00.24. Sekarang sudah pukul setengah satu lebih sedikit. Kubalas pesan itu, sekalian membalas kesalahannya membangunkan aku tadi.
“Saya bukan Yun. Tapi, kalau mau curhat boleh. Kebetulan saya tidak bisa tidur lagi gara-gara sms tadi !”
Balasannya langsung aku terima. Kali ini istriku tidak sampai terbangun lagi, karena setting ponselku sudah dalam modus diam.
“Maaf. Seribu kali maaf ! Tadi itu salah kirim.”
Aku balas lagi,
“Seribu kali masih kurang ! Besok aku pasti ngantuk di kantor, gara-gara sms tadi!”
Balasannya,
“Sejuta kali maaf. Semilyar kali maaf. Tapi cukup dulu sms-nya. Saya sudah mengantuk sekali. Sudah cukup masalah saya hari ini. Selamat malam !”
Aku juga mulai mengantuk Jadi kubalas,
“selamat malam !”
Aku tengah terangguk-angguk mengantuk menikmati irama laju bis yang membawaku meninggalkan Palembang menuju tempat aku bekerja di Prabumulih ketika nada pesan diponselku berbunyi.
Dari nomor yang nyasar semalam.
“Selamat pagi, maaf kalau mengganggu. Saya Lira, yang semalam salah kirim sms. Situ siapa ?Kalau boleh kenalan….”
Aku belum langsung menjawab. Mempertimbangkan dulu beberapa kemungkinan jawaban. Menjawab secara jujur, apa adanya atau berbohong dengan menyebut sembarang nama, mengaku berusia lebih muda atau berjenis kelamin perempuan.
Akhirnya aku balas seperti ini;
“Saya Gun. Pria usia 41 th, menikah dengan dua anak….”
Agak lama aku menunggu balasannya sampai akhirnya nada panggil ponselku berdering.
“Saya Lira. Wanita usia 32 th, menikah dengan satu anak. Boleh saya panggil Kak Gun ?”
“Jangan, panggil saja Mas Gun ! Saya orang Jawa, kok !”
“Oke, Mas gun. Kerja di mana, Mas ?”
“Pegawai Pemerintah di Prabumulih…, kamu ?”
“Jadi Mas Gun tinggal di Prabumulih ? Saya sering ke Prabu….”
“Nggak, saya tinggal di Palembang. Cuma hampir tiap hari ngantor di Prabu. Dik Lira kerja di Prabu juga ?!”
“Nggak juga, salah satu toko saya ada di sana. Jadi sering ke Prabu, ngecek barang atau apalah !”
“Salah satu ? Berarti Dik Lira saudagar dong ?!”
“Nggak, Mas. Selain yang di Prabu, hanya satu di Palembang, satu di Kayu Agung. Saya sendiri tinggal di kayu Agung.”
“Satu tambah satu tambah satu kan jadi tiga !? Punya tiga toko kok nggak mau di bilang saudagar ?”
“Iya deh, terserah Mas saja mau panggil apa….”
“Saudagar Lira sekarang lagi ada di mana ?”
“Ngledek terus ah…, “
Suara tawa Lira terdengar renyah sekali. Di luar, aku melihat kabut kemarau masih menyelimuti hawa pagi.
“Saya masih di rumah. Tapi rencananya siang ini mau ke Prabumulih, memeriksa stok barang menjelang puasa dan lebaran.”
“Saya malahan sedang di perjalanan ke Prabu, nih….”
“Ehm….”
“Kok ehm, sih ! Kenapa ?”
“Mas masih ingat sms saya semalam…?”
“Tentang curhat ?”
“Iya, Mas masih mau mendengarkannya…?”
“Gimana kalau kita ketemu saja ? saya punya waktu saat istirahat makan siang nanti…!”
“Oke deh kalau begitu. Nanti siang kita ketemu…, makasih Mas !”
Agak lama aku termenung mengingat kalimat terakhir dari Lira itu. Secepat inikah ? Ada suara yang bertanya dalam batinku. Suara nuraniku sendiri. Akan berlanjutkah hal yang pada awalnya sekedar iseng ini ? Bis sudah melewati Talang Taling, ku pejamkan mata mencoba meredam semua tanya itu.
***
2. Lira
Dulu ketika menikah, aku yakin Bang Monang adalah jodoh yang di ciptakan Tuhan untukku. Lebih dari sekedar jodoh, ia adalah lelaki sempurna yang ku dapat. Berasal dari keluarga Batak yang terpandang, kaya dan juga terdidik, Bang Monang adalah suami romantis yang penuh cinta. Ditambah lagi keluarga besarnya yang penuh perhatian dan selalu siap membantu. Aku bahagia.
Namun, hidup adalah roda yang berputar. Senang dan duka, bahagia dan tak bahagia, gembira dan kecewa selalu berganti-ganti. Kita tidak pernah dapat memilih salah satu saja. Tahun ketiga perkawinan kami, aku belum juga mengandung. Keluarga besar yang tadinya baik dan penuh perhatian, mulai kasak-kusuk. Bang Monang yang romantis sedikit demi sedikit mulai berubah. Sampai tahun ke lima, ketika kami mengadopsi anak, aku sudah benar-benar terkucil dari keluarga besar itu. Soal mengadopsi anak itu kurang tepat sebetulnya kalau ku sebut kami. Karena aku sendiri yang berinisiatif melakukan hal itu. Bang Monang sendiri, hampir tidak pernah menaruh perhatian lagi terhadap apa yang aku lakukan. Hal yang sama yang ia minta aku juga melakukannya.
Aku mencoba untuk mengikuti permainan ”tidak mencampuri urusan masing-masing” itu. Mencoba sekuat tenaga. Dan aku mulai menangis. Sedih dan menderita. Istri mana yang dapat berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat seorang perempuan lain melahirkan dari sang suami. Mungkin ada istri seperti itu, tapi jelas bukan aku. Lalu pertengkaran dan kekerasan fisik dan psikis.
Yuni, teman dekat yang menjadi tempat curhatku berkali-kali menasehatiku untuk segera keluar dari permainan yang menyengsarakan itu. Tapi, aku sendiri heran hingga saat ini belum juga aku keluar dari permainan itu.
“Aku tahu wanita seperti apa kamu, Lira. Tegar, berani, mandiri…. Yang aku tidak tahu, mengapa sampai sekarang kamu masih saja ikut dalam permainan yang tidak mungkin kamu menangkan itu ?!”
Ujar Yuni dengan nada yang menyiratkan perasaan heran dan sesal.
“Entahlah, Yun !”
“Apakah sedemikian besar cintamu pada Monang ?”
“Cinta ? Entahlah Yun, aku malahan sudah lupa pernah mencintai Bang Monang…!”
“Lalu…, apa lagi yang kamu pertahankan ?!”
“Entahlah, Yun !”
“Entahlah…? lagi…?!”
Yuni seperti kehabisan kata-kata.
***
3. Indralaya
Indralaya, bagi orang lain mungkin hanya sebuah tempat berjarak tigapuluhan kilometer dari Palembang yang menjadi persimpangan antara arah Kota Prabumulih dan Kayu Agung. Tapi bagi kami berdua, maksudku Aku dan Lira, Indralaya adalah persimpangan antara khayalan dan kenyataan, antara canda tawa gembira dengan murung dan kesedihan, antara perpisahan dan perjumpaan.
“Mas Gun, bisa nggak ya ngasih jawabannya…!?”
Kata Lira suatu ketika. Kami sedang duduk menikmati tekwan di sebuah warung dekat terminal Indralaya.
“Pertanyaannya apa dulu…?!”
Aku balik bertanya.
“Kenapa wanita perlu tidak bahagia dulu baru bisa selingkuh. Sedangkan pria, tetap bisa selingkuh meski kehidupannya bahagia…?”
Aku sedikit terpukul dengan pertanyaan Lira yang tentu muncul dari keadaan kami berdua.
“Karena pria bermaksud membagi kebahagiaan sedangkan wanita berkeinginan memperoleh kebahagiaan. Dik Lira boleh membantah lho kalau tidak setuju….”
Sebetulnya aku asal saja menjawab. Tapi Lira tampaknya betul-betul memikirkan jawaban itu. Sejenak ia seperti melamun.
“Mas Gun betul. Saya setuju kalau mas bilang pria selalu memiliki banyak kebahagiaan untuk di bagi. Tapi mungkin sedikit saja pria yang ingat kalau ia harus adil seadil-adilnya ketika membagi kebahagiaan itu….”
“Dik Lira juga benar. Ketika si pria tidak adil membagi.Maka yang di terima sang wanita bukan lagi kebahagiaan, melainkan kesengsaraan….”
Lira mengangguk menyetujui ulasanku itu.
“ Ngomong-ngomong, pertanyaan Dik Lira tadi itu berkaca dari keadaan kita, ya ?!”
“Saya tidak dapat mencari kata lain yang lebih halus tentang keadaan kita, Mas !”
Ujar Lira,
“Tapi Mas Gun, apapun istilahnya saya berterima kasih pada Mas Gun atas hubungan kita. Kalaupun hubungan kita memang perselingkuhan, saya siap menghadapi segala resikonya. Saya bersedia bertanggung jawab, di hadapan Tuhan sekalipun !”
Keteguhan hati Lira terdengar mengharukan di telingaku. Tapi aku merasa kecut juga mendengarnya. Mampukah aku seteguh itu dalam hubungan kami ini ?
***
“Pak Gun ? Saya Monang, suami Lira. Sebetulnya saya tidak peduli dengan apa yang dilakukan istri saya. Tapi, situasinya mengharuskan saya menghubungi bapak untuk bertanya beberapa hal…!”
“Boleh ! Kita ketemu saja di….!”
Aku mencoba setenang mungkin menjawab suara di ujung sana. Ku sebut nama cafe di sebuah hotel. Di seberang sana, Monang berterima kasih atas kesediaanku bertemu.
“Saya tahu Lira…. dengan bapak…!”
Aku tersenyum melihat Monang kesulitan mencarikan kata untuk menyebut hubunganku dengan Lira. Lucu karena mengingat Monang adalah orang Batak yang konon suka tembak langsung itu.
“Selingkuh ? Begitu kan istilahnya Dik Monang, boleh saya panggil Adik ?!”
Monang mengangguk. Entah mengiyakan istilah yang kupakai atau membolehkan aku memanggilnya adik.
“Justru inilah yang hendak saya tanyakan pada Bapak…. “
Monang berhenti sejenak, matanya menatap tajam. Seperti hendak mencari sesuatu dari diriku.
“Silahkan saja, Dik. Saya akan jawab sejujur-jujurnya.”
Aku menebak Monang pasti menginginkan hal itu.
“Saya memang sangat mengharapkan kejujuran Bapak. Apakah Bapak pernah…. dengan Lira ?!”
Tangan Monang bergerak menggambarkan sesuatu. Aku mafhum dengan arti gerakan tangan Monang itu.
“ Alhamdulillah, Dik. Supaya adik percaya, selengkapnya akan saya katakan begini : Demi Allah, saya dan Lira tidak pernah melakukan itu ! Atau kalaupun adik kurang percaya, bolehlah kata tidak itu di ganti dengan belum….”
“Lira hamil, Pak ! Dan saya yakin tidak ada laki-laki lain selain Bapak ….”
“Dik Monang sendiri…, apa tidak pernah lagi…?!”
Aku melakukan gerakan tangan seperti yang dilakukan Monang tadi. Monang seperti terkaget dengan pertanyaanku itu. Agak lama dia tercenung. Lalu, di luar dugaanku lelaki ini terguguk menangis.
“Terima kasih, Pak. Pertanyaan Bapak itu mengingatkan aku bahwa selama ini aku sudah berlaku sangat tidak adil terhadap Lira, istriku sendiri. Tuhan pasti mengingatkan saya lewat Bapak….”
“Boleh jadi, Dik. Tapi yang jelas, Tuhan hendak mengembalikan kebahagiaan pada rumah tangga dik Monang dan Lira. Kebahagiaan yang dulu kalian kira sudah hilang dan coba cari di tempat lain….”
“Terima kasih, Pak !”
Sekali lagi Monang berterima kasih dan memelukku sebelum kami berpisah. Pelukan erat yang menguarkan aroma persahabatan. Pelukan yang sama pernah aku terima dari Lira dulu. Aku jadi teringat perkataan Lira tempo hari,
“Kalaupun hubungan kita memang perselingkuhan, saya siap menghadapi segala resikonya, di hadapan Tuhan sekalipun !”
Sekarang ini, aku juga bersedia bertanggung jawab, di hadapan Tuhan sekalipun.
***
Agak lama istriku tercenung mendengar ceritaku.
“mama marah dua kali pada Papa ! Pertama, kenapa Papa tidak cerita sejak awal. Kedua karena Papa sudah…, pinjam istilah papa sendiri, berselingkuh !”
Aku terdiam. Istriku memang pantas marah. Aku sudah bersiap menerima hal itu sejak awal aku bercerita padanya.
“Tapi, mama juga sudah memaafkan Papa dua kali. Pertama karena Papa sudah membantu sebuah keluarga meraih kembali kebahagiaan mereka. Kedua karena akhirnya Papa mau juga jujur sama Mama !”
Aku juga masih terdiam. Namun dalam hatiku mengucap syukur
“Pa, apa bener Papa punya begitu banyak kebahagiaan untuk di bagi ?”
Istriku bertanya, setengah bercanda mendengar ceritaku tentang Lira dan Monang. Aku diam. Sengaja menghindari pertanyaannya.
“Baru pertanyaan pertama saja Papa sudah nggak bisa jawab. Gimana yang kedua….”
“Apa pertanyaan keduanya…?”
Aku keceplosan bertanya. Istriku tertawa, merasa puas berhasil memancingku.
“Tebak sendiri…! Kalau tidak bisa, tunggu saja suatu ketika mungkin pertanyaan itu akan Mama sampaikan…, ih amit-amit deh !”
Aku terdiam. Istriku juga diam, menunggu reaksiku selanjutnya. Dari teras, suara Nabila si bungsu yang baru kelas dua SD mengisi keheningan yang sempat menguasai kami. Gadis kecil itu tengah menghapalan surat Al Ikhlas.
“Qul huwa Llaahu ahad….”
07 Ramadhan 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar