Sabtu, 09 April 2011

Lendir

Lendir , mungkin adalah kata yang bernasib paling malang. Orang sering melekatnya dengan sesuatu yang berarti jorok, menjijikkan dan tidak sepantasnya. Padahal, jika si orang mau berpikir, dirinyalah yang penuh dengan lendir. Ludah dan berbagai cairan penting tubuh lainnya, justru berwujud lendir. Jadi, orang secara sengaja sudah mem-fait accompli- lendir. Merampas kekedudukan dan martabat untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kata-kata lainnya. Karena itu, sepantasnya, orang disebut sebagai perampas hak azazi lendir (HAL)
Disamping itu, lendir sudah berjasa memberi banyak inspirasi bagi para penulis. entah itu puisi, cerpen, novel dan drama, tidak sedikit yang menjadikan lendir sebagai pokok bahasannya. perkara, kemudian hasil tulisan tersebut disebut sastra syahwat, cerita stensilan dan sebagainya, bukan salah lendir. Si penulis sendiri yang-mungkin- lagi dirongrong nafsu, atau setidaknya –lagi-lagimungkin– karena si penulis kurang piawai meracik tulisannya seputar lendir ini. Karena, seperti sambal, siapa bilang urusan syahwat tidak penting ? Cuma lantaran kurang sedap racikannya, kita jadi suka mengumpat sambal, diamput ! pedes e rek ! Padahal, nanti kita makan sambal lagi, makan lagi…
Lendir juga sering dikaitkan dengan bisnis yang dipandang sebelah mata, bisnis lendir ! kata orang untuk menyebut dunia jual beli pemuasan napsu. Padahal…, ah sudah lah nanti saya dicap orang sebagai pembela lendir lagi. Maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar