Kamis, 07 April 2011

Maling !

Bukan salah Rohmat kalau ia ribut minta dibelikan motor baru. Bukan salah Patonah juga kalau ia ikut-ikutan ribut minta dibelikan handphone baru yang pakai kamera. Tanya saja pada semua warga desa, pasti mereka menganggap permintaan Rohmat dan Patonah itu wajar-wajar saja.
“ayolah Pak !” Desak Rohmat pada Karto, bapaknya.
“si Mono saja sudah nunggang motor baru…!” Rohmat menyebut nama temannya, yang tetangga sebelah rumah mereka.
“si Juki, Redi, Misnan….” Lagi-lagi nama tetangga sebelah dan sebelahnya lagi dan sebelahnya lagi. Rohmat tidak mengada-ada. Hampir semua remaja seusianya sekarang sudah memiliki motor baru. Tinggal ia saja yang menanggung malu karena masih menaiki motor butut pemberian ayahnya yang juga mendapatkannya dari simbah Rohmat.
“Motor kamu kan ada… “ Karto coba menenangkan anak sulungnya itu.
“Ah motor butut begitu…” Balas Rohmat. Matanya melirik sibutut yang terparkir di sudut teras. Sudah seminggu ini motor itu tidak disentuhnya. Tampaknya ia sudah tidak ingin lagi mengurus si butut itu.
“Iya Pak !” Patonah ikutan nimbrung.
“Hape punya ku mana nggak warna, nggak poliponik…, “ ia merajuk
“sekarang yang lagi musim hape pakai kamera…!” lanjutnya.
Karto mana tahu sekarang musim hape model apa. Yang ia tahu sekarang musim hujan.
Lagi mereka berbincang,  suara motor menggerung masuk ke halaman. Si Juki dengan gagah turun dari motornya. Setelah menyalami Pak Karto, menyapa Patonah, ia segera mengajak Rohmat. Setengah berlari, Rohmat masuk ke rumah mengambil jaketnya. Motor Juki kembali meraung-raung pergi.
Ujung jalan desa SukaMakmur, kalau sore begini pasti penuh dengan remaja. Topik obrolan mereka, walau sesekali diselingi masalah lain, kebanyakan mengenai motor mereka.
"knalpotku mau diganti dengan yang modif!" ujar Juki dengan suara keras, seperti tengah memberikan pengumuman.
"buat apa ? motormu kan masih baru ?!" Tanya seseorang. Juki menatap sipenanya, pandangannya meremehkan.
"knalpot modif lebih sangar, selain itu tarikan motor jadi lebih garang !"
Juki menerangkan. Sipenanya yang kurang pengetahuan itu terdiam, jadi malu.
"kalau aku, pelek motorku mau kuganti yang racing !" suara Redi tidak mau kalah.
"lho...motormu kan baru dua minggu dibeli ?!" ada lagi pemuda yang gatal mulut bertanya. Untung Redi tidak secerdik Juki. Tadi juga ia asal saja berteriak.
            “biar gampang saja nyucinya di sungai !” teriak Redi. Semua remaja yang hadir di sana kontan tertawa riuh rendah.
“eh, Mat motor mu mana ? ada yang nyeletuk menanyai Rohmat. Pertanyaan yang paling dibenci Rohmat. Ia memang tidak marah dengan si penanya. Ia marah sama bapaknya.
“ada di rumah ….” Rohmat ogah-ogahan menjawab. Suaranya sengaja ia kecilkan.
“motor Rohmat lagi masuk anginn ….!”
Seseorang menggoda Rohmat. Lainnya ramai tertawa. Cuma rohmat yang tidak tertawa, nyengir saja tidak. Namun dalam hati, tekadnya untuk punya motor baru kian menggunung.
***

            Dua tiga bulan ini memang muncul banyak orang kaya baru di Desa suka Makmur. Bukan karena panen melimpah dan harga beras melangit. Sawah di desa ini juga buka sawah yang kelewat subur. Hasil panen Cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup samapi panen berikutnya. Itu juga harus hidup sederhana penuh keprihatinan.
Munculnya orang kaya mendadak justru karena menjual sawah atau tanah mereka. Dari hasil penelitian pemerintah dan sebuah perusahaan asing, diketahui bahwa di dalam perut bumi Desa Suka Makmur terkandung cadangan minyak bumi yang menunggu untuk digali. Karena itu, harga tanah melonjak tinggi. Bagi yang kurang tahan godaan, jumlah uang hasil menjaul tanah itu benar-benar menggiurkan. Ditambah lagi kehidupan yang selama ini selalu susah, membuat kebanyakan mereka tidak berpikir panjang ke belakang hari lagi. Pokonya jual tanah ! uangnya bias untuk apa saja. Beli barang elektronik, perhiasan, motor atau apa saja. Malah ada satu keluarga yang menjual semua tanah beserta rumah mereka lalu pindah ke kota. Perkara mau kerja apa setelah di kota, itu urusan nomor dua puluh tujuh.
Pak Karto bukannya tidak mau ikut-ikutan menjual sawah mereka. Bukan Cuma Rohmat dan Patonah yang terus-terusan mendesak. Malahan Sumi, istrinya juga ikutan menyuruhnya menjual sawah mereka.
“sudahlah mas, jual saja sawah kita yang di Timur sana….” Ujar sang istri.
Saat itu mereka hanya berdua di rumah. Rohmat belum pulang, Patonah juga masih main di rumah temannya.
“nanti kalo sudah laku, baru ngomong sama bapak ….” Lanjut Sumi seperti mengajari Karto. Sebetulnya Karto sudah tidak perlu lagi diajari soal yang begini. Akal begitu, sudah berkali-kali ia lakukan. Jual sawah untuk kebutuhan ini itu, baru ngomong ke mertuanya. Padahal, sebagian besar sawah mereka sekarang justru hasil pemberian sang mertua. Sekarang ini, ia sudah malu sendiri. Di samping itu, sawah mereka yang tersisa sudah tidak banyak lagi. Selain sawah di sebelah Timur yang dimaksud Sumi, hanya sedikit sawah di tempat yang lebih jauh yang tersisa. Sawah itu, jelas tidak akan sanggup memberi makan mereka empat beranak.
“kan bisa minta lagi sama Bapak….?!” Kata Sumi ketika Karto menyatakan ketidaksetujuannya menjual sawah mereka yang di Timur itu. Sumi bias ngomong begitu. Ia anak semata wayang Haji Nasrun, orang terkaya sekecamatan. Tapi siapa Karto ? Jika saja Haji Nasrun tidak percaya bahwa jodoh sudah diatur Tuhan, sudah dari dulu ia suruh Sumi bercerai dari Karto. Tapi bukan salah Sumi juga jatuh cinta dengan Karto. Dulu ia pemuda yang baik. Selain cakep, untuk ukuran desa tentunya, ilmu agamanya juga lumayan. Karto malahan pernah nyantri di Jombang. Namun kenyaman hidup dan kebaikan orang-orang di sekitarnya membuat Karto lalai,kalau tidak bisa disebut lupa diri.
“aku malu sama bapak, Sum….” Karto menyatakn perasaannya. Sudah lama ia tahu sang mertua kurang senang dengannya. Karto maklum. Mertua mana yang suka dengan menantu gentong kosong macam dia ?          
  “kalau begitu, aku saja yang bilang ke bapak !”
“jangan Sum…, nanti Bapak tambah marah sama aku….”
“makanya, mas pergi ke rumah Bapak…, ajak Rohmat, siapa tahu hati bapak jadi lunak melihat cucunya….” Tandas Sumi menutup pembicaraan
***
                Hati Haji Nasrun mendadak jadi kurang senang melihat kedatangan Karto yang membonceng Rohmat.  Melihat penampilan cucunya, hati Haji Nasrun tambah gondok pada Karto. Ini  pasti gara-gara si Karto salah mendidik anak ! geramnya dalam hati.
            “Mat…, motormu tidak pernah dibersihkan yaa ?!” sindir Haji Nasrun. Rohmat diam, tidak berani buka suara. Seperti bapaknya, ia juga segan dengan si Mbahnya ini.
            “dulu motor itu bagus…, bapakmu saja ynag tidak bisa merawatnya…!”
            “Alah…, motor butut begitu !” gerutu anak beranak itu, dalam hati saja tentunya.
           
            Tahu keadaan kurang mengenakkan, Rohmat cepat-cepat melarikan diri. Setelah permisi dengan Mbahnya, ia buru-buru ngacir ke halaman samping rumah. Halaman rumah kakeknya sangat luas. Cukup dari sini saja Rohmat tahu kalau kakeknya itu kaya sekali. Cuma ia merasa simbah kurang menyayanginya. Kalau sayang, masak ia Cuma diberi mootr butut. Itu juga sudah lungsuran dari bapaknya….
Halaman itu penuh dengan pohon buah. Dengan lincah rohmat menaiki sebuah pohon rambutan. Tak lama kemudian, kulit rambutan sudah berjatuhan ke bawah.
            “Kamu tidak lagi gila kan, Tok ?!” setengah berteriak Haji Nasrun memaki Karto. Lalu ia geleng-geleng sendiri, menunjukkan sikap keheranan yang luar biasa.
            “kalian berempat mau makan dari mana kalau sawah itu dijual ?”
            “saya sudah bilang sama Sumi, Pak….”
            “lalu Sumi bilang, kan bisa minta lagi sama Bapak …, begitu ?!” Haji Nasrun menebak apa yang akan diomongkan Karto. Dari air muka Karto, ia tahu tebakannya benar.
            “tidak ! aku tidak bakalan ngasih kamu tanah lagi. Aku sudah hapal sama akal kamu, Tok ! Dikasih tanah, jual. Dikasih lagi, jual lagi. Pokonya tidak tanah, titik !” Dengan sikap jengkel, Haji nasrun bangkit ke kamarnya. Suara pintu yang dibanting berdebam keras. Karto termangu, sejenak kemudian ia juga bangkit menuju dapur. Didapatinya dapur dalam keadaan sepi.
“Ibu pasti lagi di penggilingan padi sekarang….” Batin Karto sambil membuka tudung saji.  Ada nasi, ikan goreng, tempe bacem, sambal dan pete rebus. Biarpun sudah dingin, bagi Karto lumayan juga. Ia baru berniat tambah sepiring lagi ketika terdengar seseorang uluk salam dari ruang depan.
            “Mbah haji ada ?” Tanya orang itu dengan sopan. Belum sempat Karto menjawab, mertuanya sudah muncul dari kamar menyambut tamu itu.
“Eh nak Toni, bagaimana urusannya ? jadi ?!”
Haji Nasrun menyilahkan tamunya duduk. Karto ikutan duduk juga.
“jadi Mbah, seperti yang kita sepakati….” Toni tampak ragu. Pandangannya dialihkan ke Karto. Haji Nasrun tertawa.
            “nggak apa Nak Toni, ini Karto, anak mantuku !” Toni mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Karto menyambutnya.
“ini Mbah, surat-surat yang harus ditandatangani….” Toni mengangsurkan sebuah map plastic merah. Di sebelahnya tergeletak sebuah bungkusan dari kertas tebal.
“ini uang pembayarannya, Mbah. Lima puluh juta, cash !”
“Coba kamu hitung, Tok !” Perintah Haji nasrun sambil membaca surat-surat yang harus ditanda tanganinya. Agak gemetar jari Karto menghitung uang sebanyak itu.
“lima puluh juta….” Lamunnya.
“cukup uangnya, Tok ?!” suara Haji Nasrun membangunkan Karto dari lamunannya.
“cukup, Pak !”
Setelah sang tamu pulang, cepat-cepat Haji Nasrun membawa uang itu ke kamar. Tak lama kemudian ia muncul lagi. Diulurkannya sejumlah uang pada Karto.
“yang seratus, buat kamu sama Rohmat. Sisanya kasihkan Sumi….” Karto mengiyakan. Cepat-cepat dikantonginya uang itu seolah takut Haji Nasrun akan berubah pikiran.
Sepanjang perjalanan pulang, Karto terus teringat dengan uang itu. Baunya yang harum, permukaannya yang agak kasap ditangan dan tentu saja, jumlahnya yang banyak. Lima puluh juta….!’ Karto terus berhayal jika uang itu menjadi miliknya.
“tentu beli motor buat Rohmat “ Pikirnya. Ia sudah bosan dengan desakan si sulung itu.
“hape buat Patonah…, kalung emas untuk Sumi….” Karto sudah lupa, kapan terakhir ia membelikan Sumi perhiasan. Tentu sumi senang sekali. Tak terasa Karto senyum sendiri.
***
            Sejak sore hujan turun deras sekali. Petir guruh yang sambung menyambung seolah berusaha membuat air kian banyak tercurah dari langit. Kian malam, udara terasa semakin dingin. Sejak selesai makan tadi, Karto merokok sendirian di teras. Sumi dan Patonah sejak tadi sudah mendengkur di kamar. Rohmat, sejak sebelum hujan sudah keluar dan belum pulang. Sambil meghisap panjang rokoknya, Karto menarik kain sarungnya. Perlahan ia bangkit, merapatkan pintu. Ditutupkannya sarung ke kepala. Hujan masih masih gerimis, sesekali petir masih juga mengamuk, udara malam kian menggigit tulang. Tapi Karto merasa darahnya mengalir hangat ketika ia perlahan menembus malam meninggalkan rumah.
            Sudah hampir satu jam Karto bersembunyi. Tangan dan kakinya sudah kaku kedinginan. Karto menarik napas panjang-panjang, berusaha menepis keinginan untuk merokok yang menyentak-nyetak. Ia tidak boleh merokok. Api rokok dapat terlihat dalam kegelapan. Karto tidak mau kesalahan kecil menggagalkan rencana besarnya. Matanya nyalang ke jendela rumah di depan sana. Mulutnya komat kamit. Karto sendiri hamper tidak percaya dengan yang namanya ilmu sirep. Tapi apa boleh buat, malam ini ia harus menggunakan segenap kemampuannya, termasuk merapalkan ilmu sirep yang ia pelajari diam-diam di pesantren dulu. Sekarang hatinya sudah mantap. Ia yakin seluruh penghuni rumah sudah pulas tertidur. Perlahan ia bangkit, tangannya menyentuh gagang golok yang terselip di pinggangnya. Karto berharap tidak perlu menggunakan benda itu nantinya.
            Baru saja Karto melangkah, tiba-tiba sesosok bayangan mengendap-endap mendekati jendela yang sejak tadi diincarnya. Lincah sekali bayangan itu mencungkil jendela, melompat masuk. Beberapa saat kemudian, bayangan itu sudah meloncat kembali keluar, merapatkan jendela lalu kabur berlari seperti terbang.  Secepat kilat pula Karto berlari menyusul sosok yang berkerudung sarung itu. Dalam gerimis, lincah sekali sosok itu berlari. Hampir saja Karto kesulitan mengikutinya. Untung saja arah yang dilalui sosok sangat dikenal Karto. Jalan ke Timur itu menuju ke sawahnya. Sedikit demi sedikit Karto mulai menyusul. Semakin dekat, semakin nyata pula deru napas mereka yang seperti kuda pacu. Karto juga melihat sekilas bungkusan yang dibawa maling itu.
            Kira-kira sejangkauan tangan, Karto melompat. Tangannya mengayunkan golok. Maling itu menjerit dan terjatuh. Terkejut dan kesakitan. Karto bertindak sigap, sebelah kakinya menginjak dada maling yang terlentang itu. Tangannya siap mengayunkan goloknya kembali. Tiba-tiba kilat menyambar. Kain sarung yang mengerudungi muka maling itu sudah tersingkap. Sekilas sesosok wajah yang pucat ketakutan, terpampang di depan Karto.
“ampun…, Pak. Jangan bunuh….” Maling itu merintih ketakutan. Karto seperti mengenal suara itu. Lagi-lagi kilat menyambar, sekarang, muka maling itu lebih jelas terlihat.
“Rohmat…? Kamu ?!” Karto menyingkap sarung yang menutupi mukanya
“Bapak ?!” suara maling itu kedengaran bimbang. Cepat-cepat Karto mengulurkan tangan menolongnya bangkit. Angin berhembus dingin, mengusap muka mereka berdua. Dengan tergopoh-gopoh, kedua anak beranak itu meninggalkan pematang sawah, menembus gelap malam.
***

            Hari masih pagi ketika seorang suruhan Haji Nasrun datang menyampaikan pesan. Karto dan Sumi disuruh cepat-cepat datang.   Dengan motor bututnya  Karto membonceng sumi ke rumah sang mertua. Wajah Haji Nasrun kelihatan sedih dan gelisah ketika Karto menyalaminya. Mertua perempuannya malahan terlihat lebih tenang.
“Bapak minta maaf pada kalian berdua….” Suara haji Narun penuh penyesalan.
“Ini pasti peringatan dari Tuhan, sebab aku sudah kikir dengan anak cucu….” Lagi-lagi ia menyesali diri.
“Padahal tidak begitu maksudku, malahan aku sudah berencana membelikan si rohmat motor…., ah sudahlah, sekarang uangnya sudah hilang !” Haji Nasrun seperti bicara dengan dirinya sendiri. Istri bedehem, seperti mengingatkans esuatu padanya,
“makanya pak, kalau mau ngasih orang, jangan ditunda-tunda lagi….!” Tambah sang istri.
“Oh iya, Sum.., sawah punya bapak dekat sawah kalian yang di Timur sana boleh kamu ambil. Tapi jangan dijual. Kalau mau jual, jual saja sawah kamu yang di jauh sana, ya Tok…!” Sekarang Haji Nasrun sudah bisa tersenyum lagi. Beban yang memberati mukanya tadi sekarang sudah sirna. Karto kagum dengan kebesaran jiwa mertuanya. Pantas saja kekayaan mertuanya tidak pernah surut. Tuhan sayang dengan orang yang suka bersedekah, piker Karto.
            Karto tidak menjual sawah pemberian mertuanya. Tidak yang di jauh sana, tidak juga yang di sebelah Timur.  Tapi beberapa minggu kemudian, rohmat yang sudah sembuh dari lukanya sudah menaiki motor barunya. Patonah juga sudah bisa pamer hape barunya. Cuma Sumi yang menolak dibeliksn perhiasan.
“uangnya disimpan saja di bank mas !” ujar Sumi,
“untuk biaya anak-anak nanti…”
Karto tambah kagum dengan Haji Nasrun. Kebaikan hati Sumi tentu saja menurun dari sang Haji.
            Di ujung jalan sana, semua mengagumi motor Rohmat. Di iklan televisi, konon motor itu dapat menandingi kecepatan pesawat terbang. Rohmat tidak takut lagi ada yang menanyakan motor bututnya. Si butut itu sekarang sudah diperbaiki dan jadi peliharaan bapaknya. Tapi, sesekali muncul juga was-was di hati Rohmat. Takut ada yang bertanya darimana bapaknya dpat duit but beli motor itu. Untung tidak ada yang bertanya seperti itu. Bagi semua orang di Desa Suka Makmur saat ini, wajar saja orang beli motor atau barang mewah lainnya. Jadi rohmat boleh berlega hati, setidaknya untuk saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar