Selasa, 12 April 2011

Belati


“nak mati nian, kau !” Din bergumam. Giginya berkeriut saling beradu. Matanya nyalang.
“ku tujah kau….”
Tangan Din lincah mengasah pisau belati dengan batu asahan. Sudah dua jam ia mengasah pisau itu. Kini, belati itu sudah berkilat-kilat menggidikkan. Tapi Din belum puas. Kedua tangannya masih menekan mata pisau ke asahan, seolah hendak membuat dua benda itu menjadi remuk digenggamannya. Lela istrinya yang tengah hamil tua, sejak tadi berulangkali menegurnya,
Payo kak, makan dulu…!”  Ujar Lela yang berdiri di ambang pintu. Din jongkok membelakanginya.
“dari balek tadi, kakak terus ngasah piso…”

“kakak nak betujahan, ye ?!” Lela menyelidik. Din menoleh. Matanya yang berapi-api seolah hendak membakar Lela. Istrinya tersurut mundur melihat pancaran mata Din. Muka Lela pucat pasi, jelas sekali ia ketakutan.
“iyo ! Dak usah banyak omong kau uwong betino !” Suara Din menyembur bengis. Lela terdiam, kehabisan kata, air mata mulai mengembang di kedua matanya
Din kembali menatap pisaunya. Belati itu panjangnya kira-kira 20 cm. sisi badannya bergambar sekuntum bunga dan sulur tumbuhan. Sisi yang lain, mengikuti lebar pisau terukir tulisan Solingen, Germany  . Bentuknya bagus sekali. Bahannya pasti dari baja. Belati itu Din peroleh dari seorang turis bule yang minta di antar keliling Benteng Kuto Besak setahun yang lalu. Saat itu tidak pernah terbersit niat Din untuk menggunakan belati ini. Di dapur, Lela cuma menggunakan sebuah pisau seharga lima ribu yang dibeli  Din di pasar Cinde.
Pisau hadiah turis bule itu hampir setahun ini tersimpan di dalam tas usang di bawah dipan mereka. Menjadi saksi hari-hari bulan madu Din dan Lela. Kalau saja belati itu dapat merekam kejadian di atasnya, entah sudah berapa keping filem kegiatan suami istri itu yang ia hasilkan. Tapi tidak, belati itu tidur dengan tenang di bawah dipan. Sampai Din mengambil dan mengasahnya hari ini. Sekarang, dengan kedua tangannya Din menggenggam belati itu. Pandangannya khidmat. Din tidak pintar melafalkan doa. Tapi dalam hati ia bermohon pada sang Kuasa.
“Tolong Kau bela harga diriku, tolong Kau jaga nyawaku !”
Lamat-lamat telinga Din mendengar isak Lela yang tertahan. Sebenarnya sejak tadi Lela sudah menangis. Tapi ia berusaha menahan tangis itu.Ia takut Din mendengarnya. Bukan, ia bukan takut pada Din. Tangis Lela adalah tangis seorang istri yang sangat menyayangi suaminya. Tangis Lela adalah kalimat panjang yang hendak diucapkan seorang istri yang mengetahui suaminya mengalami masalah sedang ia tak mampu membantu. Din bangkit, ketika matanya tertumbuk wajah Lela yang berurai air mata, hati Din tergetar. Hampir saja belati di tangannya terjatuh.
“kak…!” suara Lela lirih memelas. Ia bangkit menghambur ke pelukan Din. Hati Din tak tahan lagi. Belati itu benar-benar jatuh kini. Suaranya berdentang menghantam lantai semen di belakang istrinya.
Din sebenarnya bukan orang berangasan. Ia justru orang lemah lembut. Untuk perkara-perkara kecil, ia lebih suka mengalah. Ngecikke balak ! kata orang Palembang. Kelemahlembutan itulah yang meluluhkan hati Lela hingga ia menerima lamaran Din tempo hari. Selain itu, meskipun hanya seorang penarik becak, ia juga pintar bergaul. Tampangnyapun lumayan gagah. Lela yang pegawai toko kemplang di Cinde merasa telah menemukan jodoh yang setimpal ketika Din memperistrinya.    
Tapi kali ini bukan perkara kecil. Hanya orang pengecutlah yang menganggap harga diri perkara kecil. Din bukan seorang pengecut. Baginya, harga diri lebih dari nyawa. Nyawa boleh melayang, harga diri pantang dilecehkan. Sekali harga dirinya terusik, hiduppun rela ia pertaruhkan. Pagi tadi seusai menarik seorang penumpang, Din kembali ke pangkalan. Terlihat olehnya Wak Soleh sedang tawar menawar dengan seorang calon penumpang. Seorang ibu muda yang tengah hamil tua.
“limo ribu…!”
“tigo ribu bae, mang !?”
“limo ribu….” Wak Soleh bersikukuh, lagaknya acuh tak acuh.
“empat ribu….” Kembali sang ibu menawar. Keningnya berkerenyit. Kedua tangannya memegang perutnya yang membuncit. Hari belum terlalu panas, namun keringat wanita itu bertetesan di ujung anak rambutnya. Din jadi kasihan, ia teringat Lela di rumah. Di dorongnya becak mendekati sang ibu.
payo Bu, empat ribu…, naiklah !” Din mencondongkan becaknya. Tiba-tiba, Wak Soleh membentak dari belakangnya. Suaranya menggelegar.
“hoi…! Binatang ! maen serobot bae kau ni !”
Din menoleh, wajahnya kelam membesi. Tatapannya membara tepat ke anak mata Wak Soleh. Lelaki tua itu terkejut. Tak terasa ia mundur selangkah. Din tak berkata apa-apa. Dengan langkah cepat didorongnya becak meninggalkan pangkalan.
Wak Soleh lagi duduk setengah melamun ketika Din dating. Melihat wajah Din yang sudah tenang, ia coba menegur,
“Din….”
“Wak…, omongan wak tadi nyinggung aku !” ujar Din tanpa tedeng aling-aling.
“Ngatoi aku binatang, samo dengan nginjak hargo diri aku !” Din tidak memberi Wak Soleh kesempatan bicara.
“ku tunggu magrib gek. Kito selesaike di kuburan sano…!” telunjuk Din mengacung ke arah pekuburan di sebelah Barat sana. Lalu tanpa menunggu jawaban Wak Soleh, segera mendorong becaknya, pulang.   
***
Mentari sudah jauh tergelincir ketika Wak Soleh termangu di teras rumahnya yang sempit dan sederhana. Pikirannya melayang-layang. Teringat tantangan Din, ia jadi terkenang masa mudanya dahulu. Umur 15 tahun, ia datang ke Palembang dari dusunnya yang jauh di kaki gunung sana. Bekerja di pasar 16 Ilir, jadi pelayan toko bumbu milik orang India. Umur 16, pengalaman pertamanya berkelahi model preman jalanan. Mengadu nyawa dengan senjata tajam, betujahan ! Naas bagi lawannya waktu itu, beberapa tusukan membuat sang lawan terkapar. Takut masuk penjara, Soleh muda melarikan diri ke Jawa. Bukan sekedar melarikan diri, di Jawa ia belajar kebatinan dan ilmu kebal. Kembali ke Palembang, bagaikan harimau tumbuh sayap, ia merajalela. Dunia hitam ia kangkangi. Tangan hukum yang lemah tak mampu merengkuhnya. Tapi Tuhan berkehendak lain, kesadaran datang membasuh hati lelaki gagah itu. Sang preman, Soleh Macan, julukannya waktu itu, tiba-tiba menghilang. Banyak orang mengira, ia sudah mati kena tembak misterius. Tak ada yang tahu, preman itu kini menjelma menjadi Wak Soleh, seorang tukang becak tua di ujung jalan sana.
            Tiba-tiba terdengar suara batuk dan rintihan istrinya dari dalam rumah. Hati Wak Soleh tambah gundah. Sudah tiga hari ini istrinya sakit, batuk-batuk dan demam tinggi. Sudah ia bawa ke puskesmas, tapi belum baik juga.
“perkara seribu rupiah, hendak mengadu nyawa…?!” Wak Soleh menggeleng. Ada semacam kesadaran menyeruak dalam hatinya.
“Tidak boleh ! ini tidak boleh terjadi !” ia menegas dalam hati. Tangannya mengusapkan handuk basah ke kening istrinya. Perlahan sang istri tenang kembali.
            Mentari sudah benar-benar jatuh ketika Din sampai di pekuburan itu. Hanya tersisa sedikit semburat merah. Semburat itu,  membuat bayangan Wak Soleh yang berdiri di gerbang pekuburan tampak seperti sebatang pohon tua yang menjorok ke dalam sana. Tangan Wak Soleh yang kurus terentang, jemarinya kosong tidak menggenggam apa-apa.
“Mana senjata Wak ?!”Tanya Din. Pisau Jermannya yang gagah terselip di pinggang. Wak Soleh menggeleng.
“Din, aku ngaku kalah ! suara Wak Soleh parau.
“sejak aku ngatoi kau binatang tadi pagi, aku sudah kalah….” Wak Soleh maju selangkah, tangannya terkulai lemah. Din kelihatan ragu. Tangannya hendak meraba gagang belati, urung.  “kalu kito betujahan, kita sama-sama kalah !”  Wak Soleh maju lagi selangkah. Jarak mereka kini tinggal sejangkauan tangan saja. Din kini tak ragu-ragu lagi. Hatinya sudah mantap. Sambil melompat, diraupnya tangan Wak Soleh.
            “Idak Wak, Wak idak kalah ! aku yang salah, aku yang kalah !” suara Din bercampur air mata. Diciumnya tangan Wak Soleh dalam genggamannya. Wak Soleh menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan dua butir air mata yang hendak  jatuh. Dalam remang malam, mereka tegak bagai dua patung kayu pahatan orang Asmat. Sejenak tiada suara, hanya deru angin dan derik binantang malam saling meningkah.
            “wak, aku la ado bakal namo untuk cucu Wak !” Suara Din mengusik langkah mereka yang meninggalkan pekuburan itu.
“Siapo ?”
Demikian juga yang ditanyakan Lela ketika Din mengatakan hal yang sama. Ketika itu mereka sudah berbaring di dipan. Sang belati sudah kembali ke tempatnya, dalam tas usang di bawah dipan.
“Belati Perkasa !”
“…..”
Lela hendak membantah, tapi urung. Bibirnya mendadak terdiam, pelupuk matanya malah terpejam. Ia tersenyum bahagia. Saat itu Din menciumnya, tepat diantara kedua alis matanya.

Cinta Palembang 2011  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar